Kamis, 16 Juli 2015

Hidup Itu Sawang Sinawang

Kita sudah berada di penghujung Ramadhan. Besuk Hari Raya Idul Fitri, hari kemenangan, hari yang penuh kebahagiaan, dan hari ketika berkumpul kita dengan sanak saudara, juga kawan.

Namun persentuhannya dengan budaya, gaya hidup, dan kebutuhan manusia untuk mengaktualisasikan dirinya membuat suasana Idul Fitri menjadi ajang untuk saling menunjukkan kesuksesan. Mungkin kamu merasa sangat berbahagia ketika banyak orang kagum melihat kartu namamu, kagum dengan mobilmu, dan kagum dengan kehidupanmu yang sukses.

Namun di pojok sana, ada yang kesulitan untuk menegakkan kepala. Kamu merasa gagal, mobil gak punya, kamu juga tidak punya kartu nama dengan jabatan yang membanggakan. Terus kowe kudu piye le wkwkwk.

Kamu gak berani tampil kedepan, kamu malu ketemu teman, dan saudara. Kamu menghindar, kamu sengaja tidak menghadiri reuni sekolah karena tidak percaya diri, dan mukamu tertunduk.

Kamu harus paham bahwa hidup ini dialektika. Merupakan perpaduan antar variabel dengan model yang sangat rumit. Jadi kamu jangan terlalu kagum dan  jangan terlalu kasihan dengan orang lain. Karena bisa jadi yang kamu kagumi adalah orang yang menderita hidupnya. Sementara yang kamu kasihani adalah orang yang bahagia hidupnya. Segala sesuatu tidak selamanya bisa dihitung dengan tampilan materi dan status sosial.

Mungkin kamu hidup enak karena kamu pegawai atau manager dari perusahaan bonafit, kamu punya kehidupan nyaman dalam soal keuangan, namun selalu menerawang kelangit karena banyak saudara yang belum kamu kunjungi, sementara kamu harus masuk kerja. Waktu terasa sangat sempit. Hidupmu berada dibawah penjara pekerjaanmu.

Mungkin kamu orang yang sederhana karena kamu hanya pemain UKM, kamu seorang petani, kamu seorang pedagang kecil, uangmu gak terlalu banyak, namun kamu punya kemerdekaan waktu, kamu bisa mengatur jadwalmu dengan sangat leluasa, kamu menjadi juragan bagi dirimu sendiri.

Tetangga saya mengira bahwa saya hidup enak, hanya mengetik di depan komputer dan dapat transferan, namun saya mengira tetangga sayalah yang hidupnya enak, menetaskan telur bebek terlihat sebagai pekerjaan ringan yang minim resiko. Apakah anggapan kami benar? Mungkin baru obyektif  jika kami bertukar tempat, bahwa masing-masing orang mempunyai keenakan dan ketidakenakan yang berbeda.

Orang hidup sebenarnya hanya sawang sinawang, saling melihat kelebihan orang lain, secara parsial. Jadi biasa saja dalam berinteraksi dengan orang jangan terlalu silau, dan jangan terlalu tidak kelihatan.

Hidup yang kamu keluhkan bisa jadi hidup yang diinginkan orang lain. Jadi hadapi dengan keep calm ....

Dadi wis wani teko reunian le?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)