Selasa, 25 November 2008

Demokrasi Sampah

Dulu jaman Pak Harto berkuasa, ada banyak orang yang merasa tidak nyaman. Meskipun secara kehidupan ekonomi terasa lebih enak, namun tidak demikian dengan kebebasan berfikir dan memilih. Jangankan berpendapat, milih parpol saja kalau tidak yang nomor 2, urusan mudah akan jadi sulit.

Lalu orang mendambakan reformasi, dimana demokrasi akan bisa dijalankan dengan sebenar-benar demokrasi. Setelah reformasi terjadi, dan setelah empat kali pergantian presiden, ternyata suasananya tidak lebih baik dari sebelumnya. Medengar cerita orang-orang tua, dan menilik sejarah yang pernah kita pelajari di masa SD dan SMP, kita ini seperti kembali ke orde lama. Kebebasan yang yang kebablasan.Bagaimana tidak kebablasan, tiap hari bukan pembangunan yang kita lihat, tapi sikap persaingan parpol, rebutan jabatan, saling sikat, saling sikut yang tak ada habisnya. Jika tiap hari kayak gitu terus, apa anda nggak bosan ? Bosan, sedih, eneg, muak. Semuanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan diatas kepentingan bangsa.

Berapa kali saya harus datang ke TPS untuk satu kali periode ini ? Pileg, Pilpres tahap 1, Pilpres Tahab 2, Pilgub Tahap 1, Pulgub Tahap 2, Pilwalkot. Belum lagi energi yang harus dikeluarkan pada setiap kali pemilihan.

Lalu,
Demokrasi apa yang kau ajarkan kepada rakyatmu ini ?
Apakah anda tidak belajar pada sejarah ?
Mengapa partai tak hanya 5 saja, tapi sampai 45 ?
Mengapa masa kampanya harus 1 tahun ?
Mengapa rakyat lagi yg memilih Presiden, Gubernur, Walikota ? Bukankah kita telah memilih wakil ?

Saya nggak sekedar ngomong cak. Kalau anda belajar implementasi demokrasi pada negara, tengoklah Amerika, yang jumlah partainya hanya dua, dan cara milih presidennya lewat delegasi. Ini adalah pengalaman mereka bertahun-tahun. Kalau saya amati, kita ini dari tahun ketahun membuat undang-undang hanya untuk coba-coba saja. Ini kepentingan rakyat cak ! Buat rakyat kok coba-coba.

Kalau model demokrasi yang implementasikan kayak gini, mending hidup di jaman Majapahit cak !

5 komentar:

  1. Duhh... pusing setelah baca ini...

    BalasHapus
  2. piya-piye' semenjak jaman 45 s/d sekarang
    paling enak jamane' suharto,

    jika dia lihat sekarang dia akan ngomong
    ' enak jamanku tho?

    emang semua masalah akan selesai dengan
    satu kata " demokrasi".

    tambah mbulet itu pasti,
    tambah banyak koruptor, itu juga pasti,
    taraf hidup meningkat, itu ada sebagian orang saja...

    sistem zaman bahuela kok masih di-agung-agungkan
    untuk diterapkan. piye', piye'....

    BalasHapus
  3. saya memahami mas ardee yang,katanya pusing habis baca tulisan cak edy...he..he..
    emang yang ditampilkan cak edy ini sisi gelap dari makhluk yang bernama demokrasi.Biasanya sudut pandang seorang mahasiswa tak jauh dari analisa ini.Ngobrol soal beginian,saya jadi ingat acara yang pernah saya ikuti : Study Reformasi Mongolia,yang diadakan oleh IRI (International Republican Institute) 7 tahun lalu.Pembicaranya adalah Dr.Sanjasurengin Oyun,pelaku reformasi Mongolia.Kalo disini yaa Amin Rais-lah.
    Mongolia mulai buka kran reformasi pasca jatuhnya Soviet tahun 1990-an.Sebelumnya,Mongolia adalah komunis,menjadi tangan kanan Moscow di Asia Tengah bersebelahan dengan Cina.Nah,usai reformasi selama 10 tahun,kondisi Mongolia tidak juga membaik.Bahkan cenderung mundur,lebih buruk dari kondisi jaman Komunis.Indikatornya,partai MPRP (komunis gaya baru yang direformasi) menang dalam pemilu..Namun,kata Oyun, babak baru reformasi negerinya justru dimulai pada 10 tahun kedua. Jadi,10 tahun pertama adalah masa transisi.Partai pimpinan Oyun pun mulai disukai rakyat (partai pro reformasi).Ini setelah orang mulai bisa secara jernih berpikir dan terbiasa menalar secara rasional.

    Kesimpulannya, transisi demokrasi dengan sekian banyak "keruwetan"-nya adalah harga yang harus dibayar untuk sampai pada demokrasi yang relatif sejati.Ada baiknya tulisan ini ditutup dengan mengutip Anis Matta : "Nikmatilah Demokrasi itu"...he..he..Trim,cak edy

    BalasHapus
  4. #3 Matur suwun kang mul atas pencerahannya. Namun menurut saya ada prasarat demokrasi. Kemakmuran.

    Demokrasi tanpa kemakmuran sering berujung pada pertikaian dan bahkan bunuh-bunuhan. Politik yang mestinya dijunjung untuk mencari pemain terbaik malah kemudian memunculkan broker politik. Ujung-ujungnya suara = uang. Kalau dah gini partai yang idealis malah kalah. Banyak yang bilang, rakyat kita sudah pintar. Tapi kok yang sering saya jumpai tidak demikian ya ? yang memberi banyak akan dipilih :). Ya bagaimana lagi, dalam kondisi kemiskinan, hanya masalah perut yang jadi pertimbangan.

    Mudah-mudahan saja ini masa transisi. Tapi nampaknya disini transisi 10 tahun itu belum cukup kang :D

    BalasHapus
  5. iya,nampaknya transisi kita memang akan lebih panjang.Setuju,cak..Ini karena faktor SDM di kita.Paling jika kita bandingkan dengan Mongolia tadi.Mereka sekitar 10-an tahun,asumsinya tingkat pendidikan di sana relatif lebih maju ketimbang kita.Oyun mengatakan bahwa 75 % penduduk Mongolia lulus SMA.Tentu,agak beda dengan kita ya.

    Jzk.Af1

    BalasHapus

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)