Ada satu hal yang ingin saya ceritakan di liburan Agustus ini. Setiba di kampung halaman, saya beberapa kali megikuti sholat Jamaah di Masjid dekat rumah saya. Masjid Sabilul Muttaqin, adalah masjid yang cukup baru. Dibangun saat saya sudah kuliah, jadi sampai sekarang mungkin masih berusia lima tahunan. Namun heroik untuk memakmurkan masjid kelihatannya tidak seperti saat mula masjid ini dibangun.
Ngomong-ngomong tentang masjid itu, sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan proses pengembangan Islam di kampung halaman saya. Dulu di kampung ini memang tidak terlalu tersentuh Islam, tidak ada madrasah di lokasi itu, sehingga anak-anak kecil harus bersepeda ke tempat lain untuk bisa menikmati belajar di madrasah, tapi lebih banyak yang tidak belajar di Madrasah karena tempatnya yang jauh. Hingga akhirnya atas kebaikan seorang guru SMA, akhirnya sebuah rumah yang belum jadi, lantai duanya dijadikan sebagai musholla, lengkap dengan speakernya untuk mengumandangkan sholat lima waktu. Di sana ada madrasah untuk belajar sholat, membaca quran, dan fiqh sederhana lainnya. Berangkat dari sana, akhirnya muncul jamaah yasinan juga.
Perkembngan Islam di kampung saya itu, tak lepas dari peran seorang jebolan pesantren, yang saat ini telah diangkat sebagai pesuruh SD. Orangnya memang aktif, kreatif, dan bisa menerima masukan orang. Saat SMP, saya termasuk yang diajar beliau untuk membaca AlQuran, hafalan, dan materi fiqih lainnya. Setelah saya SMA, saya membantunya mengajar di madrasah itu, sampai akhirnya saya harus meninggalkan kampung halaman karena kuliah.
Sedih juga sebenarnya, karena sepeninggal saya belum ada yang membantu beliau, sehinga sampai saat ini beliau terkesan berjalan seorang diri, sejak mengajar di madrasah sampai menjadi imam sholat.
Kemarin sempat berbincang dengan seorang jamaah, dan kesimpulan kami mengatakan bahwa jika beliau tidak lagi di kampung ini, mungkin apa yang telah dirintisnya bertahun - tahun ini akan bubar.
Saya sendiri akhirnya sadar bahwa selama ini saya terlalu asyik dengan diri saya sendiri, dan kurang sadar terhadap apa yang dulu pernah dirintis, sehingga meninggalkan orang seperti Pak Sumar itu seorang diri. Memang kalau direnungkan mungkin memang ada beberapa kelemahan yang mesti diperbaiki dalam pengembangan dakwah disana, karena realitasnya,
1. Tidak pernah ada perencanaan, semuanya berjalan begitu saja.
2. Tidak ada kaderisasi, sehingga sampai saat ini dakwah hanya bertumpu pada satu orang saja.
3. Masjid hanya digunakan sebagai sarana ibadah mahdhoh, seperti sholat dan tarawih saja. Tidak pernah ada pengajian yang bisa selalu menjaga heroisme mereka untuk memakmurkan masjid, dan menambah ilmu.
4. Dalam forum Yasinan juga hanya melakukan ritual membaca surat Yasin dan tahlil saja, tidak ada materi pengajian yang bisa menambah wawasan mereka terhadap Islam.
5. Tidak ada bacaan - bacaan yang bisa memberikan pencerahan, baik kepada jamaah masjid dan da'inya.
Kelima point diatas bukan berarti saya tidak menghargai kerja keras orang di kampung saya, amat saya hargai, point - point itu hanyalah sebuah renungan yang harus difikirkan agar roda dakwah bisa terus berjalan.
Langkah pertama, terbersit keinginan dalam diri saya untuk membuat taman bacaan di masjid kampung saya itu. Karena yang paling penting adalah bagaimana melakukan upgrade informasi dan ilmu terhadap da'i dan para jamaahnya, sehingga masjid tidak hanya menjadi tempat sholat saja, tapi bisa menjadi tempat belajar. Untuk saat ini media perpustakaan saya fikir adalah yang paling tepat. Memang ini masih masih dalam pemikiran saja, yang mungkin akan saya bicarakan dengan lebih serius pada Idul Fitri mendatang, saat saya kembali pulang kampung lagi.
Saat ini saya ingin mendapat informasi dari anda semua, bagaimana membuat taman baca ?, dan selain harus membeli sendiri, dimana kira-kira saya bisa mendapatkan donasi buku untuk perpustakaan tersebut ? Anda tahu ?
Selasa, 22 Agustus 2006
Taman Baca Untuk Masjid
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
jd inget waktu ke jember pak, tempo hari (liburan juga^^).
BalasHapusDisana saya bertemu dengan teman lama, jebolan ponpes madura, dan sekarang sedang dalam tugas "mengabdi" ke jember. Ya begitulah selama 1 tahun ini dia ditugaskan untuk membina anak2 desa yang kurang mendapatkan pendidikan layak, terutama agama.
Jangankan masalah buku, lha wong pendakwah aja kita kekurangan kok, ga' tahu ya ditempat lain. Klo mau bikin taman bacaan bisa buat sendiri pak, kumpulin aja buku2 yang udah ga' kita baca, cari tempat layak, trus buka perpustakaan kecil.
Aq dulu sempat mau bikin, tapi terbentur ma sewa kontrakan yang mahalnya bukan main, kalau soal buku sich ga' ada masalah -soalnya punya pribadi-.
1. kalo dulu ada yayasan yang suka bagi2 buku gratis ... tapi sejak isu teroris, donasi dari timteng mandeg, jd yayasan itu sdh gak bagi2 buku lagi.
BalasHapus2. coba hub penerbit buku, masak sih buku 1 exp aja ndak dikasih.
Di kostan saya yang dulu ada perpustakaan punya majelis taklim. Senior2 yang pernah ngaji di MT tsb ada sebagian yg kerja di penerbitan buku bahkan ada yng punya penerbitan sendiri. Ini berandai2 ya ... klo saja mereka inget kalo pernah ngelola perpus, munkin rak yg sekarang sudah gak muat lagi, tapi .... ingetnya mereka kadang2 aja.
Pernah denger rumah baca Az-Zahra ketintang Kang? ini taman baca yang di kelola oleh Masjid TELKOM Ketintang. Kebetulan, dua minggu lalu baru saja re-launcing dgn mengundang temen2 dari FLP.
BalasHapusKonsepnya bagus, bukunya cukup banyak. Lokasinya juga asyik, dijamin betah baca disana.
#1. Kalau yang ada di fikiran saya bukan kontrakan, tapi ya masjid itu kita jadikan taman baca. Jadi kalau masalah tempat mungkin gak ada masalah.
BalasHapus#2. Saran mas Lutfi mungkin boleh juga dicoba.
#3 Pernah dengar Had, sebenarnya saya kepingin tahu gimana konsepnya dan bagaimana dia dapat buku. Tapi kapan ya ada waktu buat kesana ?