Saat ini radio transistor mungkin sudah tidak populer lagi. Bahkan saya sudah tidak menjumpainya di toko-toko elektronik besar seperti Hartono Elektronik dan UFO. Yang ada radio yang dijadikan add-ons bagi alat elektronik lain seperti rape recorder tape recorder atau CD Player. Akhirnya saya titip ke istri yang lagi belanja ke Pasar Turi untuk membelikan radio transistor. Dibelilah sebuah radio berukuran sedang dengan harga 70.000,-. Radio dengan merek yang sangat tidak terkenal, Rising Star Shining Star, dengan dua buah baterai besar yang dilengkapi Adaptor sehingga bisa dicolokkan ke listrik bertegangan 22O Volt. Di radio itu terdapat fasilitas 4 band yaitu FM, MW, SW1 dan SW2. Orang sekarang biasanya menikmati band FM, tapi saat saya kecil yang ada hanyalah MW dan SW saja.
Dulu, karena orang yang mempunyai TV tidaklah banyak, juga stasiun TV tidak sebanyak sekarang, maka radio menjadi alat informasi yang paling banyak di akses orang. Acara yang cukup terkenal waktu itu adalah sandiwara radio seperti Saur Sepuh, Tutur Tinular dan sebagainya. Disamping itu acara-acara siaran bahasa Indonesia dari Radio Australia atau BBC juga sempat saya gemari. Adik saya adalah orang yang paling suka mengirim salam lewat kartu pos, dan dibawahnya selalu ada kata tolong dikirim souvenir, dan kami akhirnya mengkoleksi banyak souvenir. Bangun jam 4 pagi, selalu saja kami memutar radio ABC dan mendengarkan Nuim Khayat, Estas Pratomo, Edi Tando bercuap-cuap di angkasa.
Tetapi semenjak kuliah, saya sangat jarang berinteraksi dengan radio. Setelah menikah, saya justru lebih banyak nonton TV dan jarang mendengar radio karena memang tidak punya. Bukan hanya saya saja, namun kelihatannya saat ini lebih banyak orang yang punya pesawat TV dibanding radio.
Menonton TV memang enak karena ada gambarnya, namun lebih banyak membuang waktu karena harus menggunakan mata dan telinga yang artinya tidak bisa di buat sambilan. Apalagi sekarang ini acara-acara di TV cukup memuakkan, karena didominasi oleh gosip artis, sinetron yang tidak masuk akal, dan berita-berita dengan gambar yang sangat sadis dan menjijikkan.
Mungkin selanjutnya aktifitas saya akan lebih banyak ditemani radio. Ternyata enak juga ketika coding atau makan ditemani sebuah radio transistor.
Tentang fenomena makin langkanya "penikmat" radio ini pernah jg diulas di Jawa Pos. Disana disebutkan kalo saat ini, trendnya bukan lagi memanjakan kuping, tapi memanjakan mata. Yg untung tentunya televisi. Memang sih, imbasnya banyak stasiun radio yg gulung tikar. Meski, banyak jg yg masih eksis.
BalasHapusPersis jg kayak kesukaan mas edy, sy dulu jg seneng dengerin sandiwara radio, mulai saur sepuh, arya kamandanu, terus mak lampir (apa lagi ya???). Kadang, kangen juga :)
WHAAATT?! RAPE recorder???!!!! seram kali pun!
BalasHapus#2 Halah, nggak tahu kok bawaannya salha keitk mulu. Ya begitulah kalau ngeblog ingetnya utang :)
BalasHapusaku sik nek malasan, internetan teko balai desa :D, radiomu tak pee wae yo? Sesuk tak lobine ke Mbak Merry wae he.. he.. he.. NAYAMUL
BalasHapuskakang adi rukun tenan je...:)
BalasHapusRAPE RECORDER ...?? Waks...
BalasHapus