Senin, 23 Agustus 2004

Allah Mengabulkan Do’anya

Saat adik saya pulang ke desa, terbetik kabar, bahwa seorang akhwat mengkhitbah rekan saya. Tertarik sekali saya mendengarnya, jarang seorang akhwat sampai berani mengkhitbah seorang ikhwan. Saya mulai bertanya-tanya, tentu ada sebuah “keluarbiasaan” yang dipunyai rekan saya itu hingga seorang akhwat melamarnya.


Dia adalah teman sekelas saya sejak saya SMP dan ketika melanjutkan di bangku SMA. Hobinya di bidang elektronika, menjadikan ia dan saya bersahabat sangat dekat. Saya tahu, dia adalah orang yang mempunyai potensi hanif, hanya saja saat saya dan beberapa rekan terekrut dalam sebuah forum pengajian, dia bukanlah yang termasuk. Demikian pula saat saya dan beberapa rekan aktif di rohis Islam, dia juga bukanlah orang yang termasuk disitu.


Setelah selesai SMA, kami berpisah untuk melanjutkan studi, dan kamipun jarang bertemu lagi. Saat bertemupun saya tidak mendapatinya mengalami perubahan, dia masih seperti dulu, seperti ketika kami bersahabat saat di SMP dan SMA. Tapi tiba-tiba sebuah kabar terdengar bahwa seorang akhwat meminangnya.


Kabar ini bagi saya seperti kejadian pada zaman nabi. Ketika seseorang datang ke masjid, lalu menjulukinya ahli surga, maka seorang sahabat menjadi ingin tahu, apa yang menyebabkan orang yang terlihat sangat biasa itu menjadi ahli surga ? Diapun bertandang ke rumahnya hingga tahulah ia bahwa seorang yang disebutkan nabi itu adalah seorang yang mempunyai jiwa keikhlasan mendalam yang tak pernah iri dan dengki kepada siapapun.


Sayapun demikian juga, saya ingin tahu, apa kehebatannya sehingga seorang akhwat berani meminangnya ? Lalu saya sayapun menghubunginya untuk bersilaturahmi dengannya. Dan sejak itu, mulailah jalinan silaturahmi itu terhubung kembali.


Saat kami berkesempatan berjalan-jalan bersama, diapun mulai bercerita, tentang kehidupannya selama ini, juga tentang pernikahannya yang akan segera dilangsungkan. Saya mendengarkannya dengan seksama, dengan harapan, saya akan memperoleh pelajaran berharga darinya.


Setelah lulus kuliah dan bekerja, dia mengalami putus hubungan dengan kekasihnya.Tentu, putus hubungan dengan kekasih akan menghentakkan jiwa, akan terasa sangat pahit terasa, hingga kemudia ia merasakan sedikit tergoncang. Disaat-saat yang demikian, alhamdulillah beberapa rekan sekerjanya mengajaknya ke forum-forum prngajian, atau terkadang menghadiri deklarasi dan kampanye sebuah partai Islam. Meskipun mula-mula hanya untuk melupakan kepedihannya, tapi Alhamdulillah, Allah telah mulai membukakan hatinya, ia mulai tersadar akan hakekat hidupnya.


Dan iapun berdo’a, “Yaa Allah, karuniakanlah kepada saya seorang akhwat yang shalihah” , disetiap usai shalatnya. Meski ia tahu bahwa kondisi keluarganya tidak memungkinkan untuk itu, akan tetapi ia selalu saja berdo’a.


Dan benar saja, ketika ia menkomunikasikannya kepada keluarganya, keluarganya menolaknya. Ia tidak ingin mempunyai menantu berjilbab. Karena memang nilai-nilai semacam itu memang asing dalam keluarganya. Keluarganya hanya menghendaki keluarga yang biasa saja, yang penting anaknya baik, dan tidak berpenampilan ‘exstrem’.


Iapun limbung, keputusasaan mulai menggelayut ke dalam jiwanya, keresahan mulai menjalar di lubuk hatinya. Mengapa tujuan semulia itu harus kandas ?. Bahkan pada puncak keputusasaannya, hatinya mulai bergumam, kalau tetap saja keluarganya menolaknya ia akan berencana pergi ke Jepang, dan menikah dengan gadis liberal sekalian biar seluruh keluarga puas.


Suatu saat seseorang datang ke rumahnya, entahlah, mengapa tiba-tiba ia menawarkan anaknya padanya. Seorang akhwat yang ketika SMA adalah adik kelasnya, seorang akhwat yang baru menyelesaikan kuliahnya.


Meskipun keluarga belum luluh hatinya, namun iapun tetap saja berdo’a sembari mendekati orang tuanya. Iapun membelikan televisi dan mendampingi ibunya untuk melihat televisi. Jika di acaranya terlihat perempuan, diapun menanyakannya kepada ibunya, Apakah ibu rela jika saya menikah dengan seorang seperti itu, yang pusarnya kelihatan, yang tidak mempunyai etika kesopanan. Ibunya lantas menimpalinya, iya barangkali engkau memang tidak akan kuat jika harus menikah dengan perempuan-perempuan semacam itu. Hati orangtuanyapun sedikit demi sedikit akhirnya luluh juga.


Rupanya Allah telah mendengarkan do’anya, dan mengirimkannya “bidadari” untuknya.


Saat pernikahannya, saya tak kuasa menahan keharuan, sayapun menutup muka saya dengan telapak tangan saya, hingga tangan saya terasa basah karenanya.



“Teriring do’a semoga Allah mengkaruniakanmu suasana bahagia dan membimbingmu ke arah yang lebih baik, karena engkaulah yang saat ini telah menjadi saudara saya yang sebenarnya”

NB : Tulisan saya dulu kala, sebelum berani menikah :
Sby, pagi hari 9 Juni 2003


Edy Santoso
[email protected]

2 komentar:

  1. Subhanallah....ceritanya mengharukan. Alhamdulillah, endingnya sesuai harapan. Itulah buah dari do'a dan usaha yang tak pernah putus.

    BalasHapus
  2. Iya benar, apalagi yang mengalaminya sendiri, mesti lebih terharu. Tapi ana sendiri tidak pernah ketemu lagi setelah nikahnya.Mudah-mudahan semakin lebih baik.

    BalasHapus

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)