17 Agustus selalu saja diperingati oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan caranya masing-masing tentu saja. Di desa, biasanya 17 agustus diperingati dengan membuat pameran pembangunan dan exsposisi di alumn-alun kecamatan, juga bermacam perlombaan tingkat kecamatan, baris-berbaris dan lain-lain. Suasana yang bagi saya adalah menyenangkan. Tetapi di Surabaya dan di Malang lain lagi, peringatannya diadakan oleh tiap gang, yang pesertanya kebanyakan anak-anak. Anak-anak mengikuti lomba makan kerupuk, memecahkan balon, tinju bantal dan sebagainya. Pokoknya ramai deh. tapi kalau malam, jenis perlombaannya diadakan di Mushola. Seperti kemarin malam, saya terkejut, lho kok adzan Isya’nya berkali-kali, eh ternyata lomba adzan adek-adek. Demikian pula ada suara-suara Surat Al Ghasiyyah untuk lomba hafalan, yang membuat pipi saya kemerahan menahan malu, karena ternyata saya kalah sama adek-adek mushala di samping kost saya.
Kemarin, seorang ustadz, setengah protes, atau barangkali lebih tepatnya instrospeksi diri. Kata beliau, diantara kita itu siapa saja ya yang punya bendera merah putih, trus waktunya merayakan ulang tahun RI eh malah daurah, apa nggak ada hari yang laen. Anak-anak hanya celetukan membela diri, ya ini cara kami merayakan ustadz :].
Saya sepakat dengan ustadz itu, karena menurut pengamatan saya, yang semoga salah, banyak aktifis yang kurang begitu “ngeh” dalam menyambut ulang tahun RI ini, kesannya kok biasa saja. Waktu dulu saya masih jadi orang biasa, belum punya jenggot maksud saya, saya begitu riang menyambut hari kemerdekaan, dan bercampur baur dengan banyak orang larut dalam kesukacitaan. Tapi sekarang eh kok rasanya hari kemerdekaan itu nggak begitu istimewa. Sekarang kita tanya apakah ada diantara kita yang terlibat dalam penyambutan HUT RI ini ? ah, ternyata sedikit sekali yang angkat tangan.
HUT RI yang sering kita sepelekan ini, ternyata banyak hikmahnya, karena kita dapat mengaca pada sejarah masa lalu untuk menatap masa depan. HUT RI bisa dijadikan sebagai spirit baru membangun tonggak perjuangan Reformasi. HUT RI itu bukan punya mereka, tapi HUT RI itu punya kita, yang mengklaim diri sebagai generasi Rabbani penegak keadilan dan kebenaran, tapi sialnya kita nggak begitu mempedulikannya.
HUT RI diperoleh dari rantai panjang perjuangan. Banyak mujahid-mujahid yang berguguran mergang nyawa untuk mempertahankan sejengkal tanah air. Mulai dari Pangeran Diponegoro, tuanku Imam Bonjol, sampai pada Jendral berhati lembut, Jendral Sudirman. Saya terharu ketika suatu saat membaca buku Sirah Nabawiyah, yang dikarang oleh orang Indonesa sendiri, kiai siapa saya lupa. Saat pengarang ketemu Jendral Sudirman beliau berkata,” Saya terkesan dengan karangan ustadz; jika gerilya, saya sering membaca buku ustadz tentang perjuangan nabi dalam menempuh peperangan, dan saya sering belajar strategi perang dari sana”. Subhanallah, apakah kita tidak layak untuk menyebutnya sebagai mujahid. Dan para mujahid muslimlah yang banyak memberikan kontribusi pada kemerdekaan bangsa ini dalam mengusir kaum kufar.
Saya sebenarnya hanya iri, ketika kita lebih banyak banyak menyebut sosok Yahya Ayyash daripada Panglima Sudirman. Atau lebih mengenal Syaikh Yasin, daripada Ustadz Ja’far Thalib, atau lebih sering mengibarkan bendera Palestina daripada bendera bangsa sendiri. Padahal mereka itu sama-sama mujahid yang membela tanah air kaum muslimin dari penindasan dan kekejaman. Padahal bendera Palestina nggak ada bedanya dengan bendera Indonesia.
Barangkali kita harus merenungkan kembali tentang arti kemerdekaan ini bagi kita. agar kita tidak melupakan bangsa sendiri. Agar kita lebih mengenal diri kita sendiri, karena perjuangan dakwah kita ini lebih banyak berada di bumi kita sendiri
wallahu ‘alam
Catatan : Tidak bermaksud mengecilkan arti solidaritas ummat islam dunia, akan tetapi catatan kecil ini hanya untuk mengingatkan agar kita jangan melupakan bangsa kita sendiri.
Memperingati kemerdekaan RI
Surabaya 18 Agustus 2002 pk 4.42 WIB
[email protected]
Senin, 19 Agustus 2002
Merdeka dan Kita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)