Minggu, 21 April 2002

Ikhwan dan Akhwat

Terus terang , saya mendengar kata ikhwan, kata akhwat, kata akhi dan kata ukhti pada sekitar semester 2 di SMA. sebuah penggilan yang asing bagi seorang yang baru saja masuk menjadi anggota pengajian. Ikhwan, Akhwat, apa artinya yah ? Kok sebelum itu tak pernah saya bersua dengan kata-kata itu, tak ada kalangan santri yang memakai kata-kata itu. Dan akhirnya artinya terterjemahkan bukan dari kamus istilahnya WJS Purwodarminto [karena emang tidak ada kata-kata itu sih] akan tetapi istilah itu terterjemahkan dari fikiran kita sendiri dan interaksi dengan orang-orang yang disebut ikhwan dan akhwat itu.

Ikhwan,

Barangkali kita, yang rada-rada bau aktifitas di masjid kampus begitu bangga di sebut ikhwan, atau dipanggil akhi, seperti misalnya akhi Edy , akhi Kacak; dari ikhwan ini, dari ikhwan itu dll. Kalau ada yang menyebut kata ikhwan, terbayang orang yang bersemangat dalam Islam, para da’i- da’i muda yang tak kenal lelah rapat :], para temperamen yang begitu berwibawa dan di segani, ibadahnya luar biasa banyaknya, sejak dari Qiyamul Lail tiap hari sampe baca Qur’an di setiap tempat, bahkan stasiun KA sekalipun.

Atau seperti yang pernah terbaca oleh saya di majalah UMMAT, ketika seorang ketua LDK disuruh mendefinisikan seorang ikhwan, maka ia mengatakan bahwa secara fisik saja sudah keliatan, seperti punya sedikit janggut [yang banyak juga ada yang nggak punya juga ada, tapi jangan marah dong ] , dan seringkali membewa-bawa Alquran di sakunya, ya itulah ikhwan.

Kesimpulannya, ikhwan yang kalau nggak keliru sebutan untuk saudara laki-laki itu telah berubah maknawinya, atau kata Guru saya, maknanya menjadi konotatif positif, dengan menyebut bahwa ikhwan itu adalah makhluk Allah yang taat beragama dan sempurna.

Akhwat,

Tak berbeda dengan ikhwan, ia adalah sosok wanita sempurna yag mahal harganya, yang begitu “membatasi diri dalam pergaulan”. Yang tidak “nyah-nyoh” seperti wanita Indonesia pada umumnya. Jadi ia adalah para wanita yang “tidak wajar” yang pribadinya sempurna, yang menjaga kehormatannya, yang kalau ketemu dengannya, menatapnya saja tidak berani. Yang barangkali dialah –meminjam kata A’Agym - bidadari surga yang di turunkan ke dunia :].

Tuntutan

Hidup ini tentu tak mungkin berada dalam angan-angan, hidup ini adalah sebuah realitas yang dijalani setiap hari. Rekan-rekan saya menyebut bahwa saya adalah seorang ikhwan. Terlepas dari apakah karena saya punya sedikit janggut atau yang lain :] , yang itu mau-tak mau akan menjadi “beban” dalam setiap langkah menapaki dunia. Adalah kewajiban untuk menjadi orag sempurna. Karena ikhwan dan akhwat itu, selain berpakaian yang sopan, tinggkahnya sopan pula, kata-katanya baik, Ipnya tinggi, cepet lulus, jadi da’i, keluarganya Islami, dan seabrek tuntutan-tuntutan lainnya.

Barangkali sama dengan apa yang dikatakan Gus Mus pada beberapa tahun yang lalu di Manarul ‘Ilmi . “Menjadi Kiai itu emmang repot,” kata beliau, “ mau makan di warung, Kiai kok makan di warung; mau pergi ke pasar, Kiai kok pergi ke pasar; mau jualan ayam, Kiai kok jual ayam, jadi repot.”

Barangkali apa yang dirasakan oleh beliau ya sama seperti yang saya rasakan, ikhwan kok sukanya begajulan, ikhwan kok nggak lulus-lulus, ikhwan kok sukanya ndagel, emang akhirnya agak repot.

Makanya barangkali beberapa ikhwan dan akhwat yang merasa nggak bisa memenuhi persyaratan itu menjadi mutung, saya bukan ikhwan kok, saya bukan akhwat kok, saya manusia biasa kok, dan kok-kok yang lain.

Suatu saat seorang ketua LDK ditanya oleh seorang akhwat anak buahnya, “ Akh, ane akhwat ato bukan sih.” “Lho emangnya kenapa?”. “Kalau rapat kok nggak sering diajak sih.” Nah kalau yang ini kalau nggak banyak rapat jadi bukan akhwat he..he…

Stress, dan tak mau jadi akhwat dan ikhwan lagi ? Jangan deh, kerena

Meski banyak tuntutan tapi tuntutan itu kan baik, rajin sholat, puasa sunnah, kan menjadikan kita banyak pahala. Nggak rugi kok. Daripada kita jadi “orang biasa” yang nggak ada tuntutan dari psikologis kita, yang semuanya dianggap wajar kan jadi repot juga. Pacaran, wajar wong saya manusia biasa kok, bukan ikhwan, bukan akhwat. Valentinan, wajar, berdendang “Mau kubunuh pacarmu” wajar wong bukan ikhwan kok. Jadi ya akhirnya kagum sama kita –kita, ya wajar aja. Nggak ada batasnya, Remnya ngeblong.

Secara manusiawi

Jika ternyata kita akhirnya nggak sesempurna tuntutan ikhwan dan akhwat, tentu semuanya ada alasannya. Adalah karena kita itu manusia, yang meskipun kita itu terbaik, tersayang – Bukan tersanjung, seperti sinetron aja :] - tapi jangan lupa bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa, berkeluh kesah dan sebagainya. Jadi memang Al Qur’an sendiri mengakui sisi-sisi kemanusiawian itu dalam dua sisi. Manusia bukanlah malaikat yang nggak punya nafsu, yang nggak perlu minum Hemaviton untuk menguatkan tenaganya. Manusia adalah makhluk yang penuh dengan keterbatasan hingga terkadang angan-angannya nggak berjalan selambat kenyataan yang dilaluinya.

Ikhwan kita, akhwat kita adalah manusia juga.

Berkunjunglah ke rumah seorang ikhwan yang kita anggap berwibawa, lalu tinggallah bersamanya selama seminggu saja, barangkali di hari pertamanya, masih kelihatan kental sisi keikhwanannya, akan tetapi di hari-hari selanjutnya antum akan melihat sisi-sisi manusiawinya, mulai suka ndagelah, yang aneh-anehlah, pokoknya antum bayangkan sendiri diri antum, maka akan tak jauh-jauh sifatnya. Demikian pula dengan akhwat barangkali, soalnya saya sendiri nggak pernah tahu sih. Makanya syarat tak tertulis menjadi murabbi kan “jangan sering-sering ketemu sama mad’u”

Ketemu pula saya dengan seorang ikhwan, yang orangnya agak ndagel dan begajulan pula, kebetulan ia nikah dengan akhwat. Lalu saya bertanya, apa antum tidak dimarahi tiap hari sama istri. Lalu ia mengatakan, akhwat itu manusia juga akh, wanita juga akh, jangan lupa antum, jadi pandanglah ia sebagai istri, manusia dan wanita dengan kebutuhan dan penanganan sesuai kapasitasnya. Lho terus akhwatnya mana :]

Itulah barangkali mulai saat ini pandanglah ikhwan kita, akhwat kita sebagai manusia juga yang akan mempunyai sisi-sisi kekuatan dan kelemahan, yang akan mempunyai sisi-sisi menyenangkan dan “menyedihkan “. Hingga antum tak kecewa-kecewa betul saat harus “berinteraksi aktif” dengannya.

Jadi barangkali,

Pandanglah ikhwan, akhwat itu adalah manusia juga seperti kita yang punya kelemahan dan kelebihan, akan tetapi yang perlu dicatat adalah , bahwa ikhwan dan akhwat mempunyai kesungguhan untuk menjadi yang terbaik meskipun hasilnya terkadang belum begitu baik. Yang terpenting untuk menjadi ikhwan dan akhwat, jangan meninggalkan komunitas orang-orang sholeh, baik di lingkungan bahkan di milis. Makanya ketika saya banyak berinteraksi dengan Cak Indra dan Cak Kacak di Manarul ‘Ilmi ato akh Amin dan Akh Syu’bani di taushiyah Only , akhirnya jadi ya agak baikan dikit :]

Jadi jangan kapok-kapok untuk menjadi ikhwan dan akhwat.

Wallahu ‘alam

Sby, 19 April 2002

Edy Santoso

achedy@yahoo.com , achedy@telkom.net

Webmaster at http://masjidits.cjb.net