Minggu, 28 April 2002

Perasaan, dan Pengaruhnya Terhadap Aktifis Muda Dakwah

Hal yang sangat mempengaruhi dalam hidup manusia, menurut hemat saya adalah perasaan. Perasaan, amatlah mempengaruhi opini seseorang dalam pengambilan sebuah keputusan. Perasaan ibarat seorang penasehat yang selalu saja memberikan arahannya kepada kita, tentang banyak hal. Akan tetapi yang terlalu penting, yang perlu kita waspadai adalah bahwa perasaan seringkali tidak memberikan nasehat yang tepat. Dan jika demikian, maka ini amatlah mengganggu kita, apalagi jika kita adalah seorang da’i.

Pernahkah, antum membaca di banyak rubrik konsultasi, seorang istri atau suami menuduh selingkuh pasangannya, lalu menjadi retaklah rumah tangganya, padahal kalau diperhatikan barangkali hanyalah perasaan saja yang berbicara, mereka sebenarnya tak ada bukti sama sekali untuk menuduh pasangannya itu.

Dalam forum-forum dakwahpun terkadang demikian pula, coba lihat di konggres-konggres, yang satu menuduh yang lain, yang satu mengecam yang lain, bahkan banyak lembaga Islam yang akhirnya pecah. Saya yakin, yang paling dominan dalam pesoalan itu adalah perasaan pula. Perasaan kitalah yang mengatakan, Ah, rekan saya telah memanfaatkan organisasi ini untuk kelompoknya. Ah, rekan kita hanya mencari popularitas dengan aktifitas-aktifitas yang dilakukannya dll. Padahal coba buktikan bahwa ia memanfaatkan untuk kepentingannya sendiri, tak ada bukti bukan, semuanya hanya bermuara pada perasaan.

Dalam korelasinya dengan aktifis muda dakwah, maka ada beberapa persoalan yang terkadang membelenggu perasaannya, yang terkadang menghambat dirinya untuk maju dan berprestasi, padahal sebetulnya ia bisa menjadi sosok dai prestatif, kalaulah ia bisa keluar dari belenggu perasaannya itu.

Masa lalu saya kelam,
Masa lalu seringkali membayangi kita dalam melangkah. Kadang, ketika ada jalan lempang untuk melangkah ke depan, tiba-tiba bayangan masa lalu itu datang, “Ah, saya sudah terlanjur banyak dosa, masak berani-beraninya sekarang ngisi taushiyah”. Itu contoh sederhananya. Atau ketika sebuah amanah dakwah itu datang, lalu kita mengatakan, “Apakah pantas orang yang dulu sering dimarahi orang, kok sekarang harus menasehati orang, menasehati diri sendiri aja deh” Disinilah kita kemudian sering berhenti dan akhirnya tidak maju.

Contoh diatas barangkali contoh sederhana, ada contoh yang lebih berat lagi, kalau kita baca-baca di majalah UMMI, maka akan kita temui hal-hal berat yang memang secara psikologis akan sangat mengganggu, misalnya dulunya pernah melakukan seks pranikah dengan pacarnnya dan kemudian bertaubat dan menjadi akhwat. Atau dahulu pernah menjadi pecandu narkoba, terus sekarang menjadi ikhwan. Bayangan-bayangan masa lalu terkadang menyisakan gurat-gurat kesedihan yang sulit dihapuskan. Sisa-sisa dosa masa lalu terkadang menorehkan luka yang mendalam yang membuat seseorang menjadi malu untuk maju.

Sebenarnya kita bisa bertanya, kelam mana sebenarnya masa lalu kita dengan masa lalu Umar ibnul Khotob, atau masa lalu Cat Steven, atau yang tak jauh-jauh adalah masa lalu Anton Medan, atau Johni Indo. Sekarang bahkan mereka melejit mencapai prestasinya, jauh lebih cepat dibanding orang-orang yang bermasa lalu indah.

Masa lalu, jika itu indah dan menyejukkan, dan memotivasi, maka jadikanlah ia cermin hidup kita, yang akan memberikan semangat ketika kita loyo, yang akan memberikan motivasi ketika gairah kita turun. Akan tetapi jikalau ternyata masa lalu tak terlalu indah, yang jikalau kita mengingatnya hanya akan menurunkan motivasi kita, yang jika kita menoleh kebelakang hanya meninggalkan luka yang membuat hidup menjadi tak bergairah, maka lupakan saja masa lalu itu.

Sebenarnya, jika kita mempunyai keinginan untuk maju, jika kita berkeinginan untuk memperbaiki diri, maka saya yakin Allah akan membantu kita, karena sesungguhnya Allah hanya akan mengikuti prasangka hambaNya. Dan Allah pula akan mendekat lebih dekat jika kita berusaha dekat dengannya. Marilah kita mulai episode terbaru, yang akan menampilkan “film” kehidupan dengan kwaitas terbaik. Insyaallah antum akan mampu.

Keluarga yang tak Islami,
Dulu, saya selektif sekali menerima rekan dakwah yang berkunjung ke rumah orangtua saya, karena keluarga saya adalah keluarga umumnya, yang barangkali tak memenuhi standard jika di kait-kaitkan dengan konsepsi yang difahami oleh aktifis dakwah. Saya malu, jika mereka akan mengatakan, “beginilah rumah aktifis”. Saya akhirnya hanya menerima yang akrab dengan saya saja, yang saya rasa memahami keadaan di keluarga saya.

Saya baru menyadarinya ketika suatu saat adik saya bertanya kepada saya, apakah kamu akan sinis jika ada keluarga sahabat dakwahmu yang kebetulan –dalam pandangan aktifis- tidak Islami, atau barangkali secara ekstrimnya, suka maksiat atau bahkan bukan seorang muslim ?. Lalu saya jawab, tidak bahkan barangkali saya akan merasa kasihan padanya. Adik saya lalu berkata, begitulah orang lain memandangmu. Baru kemudian sayapun menyadarinya.

Keluarga yang dipandang tak islami terkadang menyurutkan langkah kita untuk maju dalam dakwah. Wong keluarga kita aja seperti itu, barangkali begitulah kilah kita. Percayalah, bahwa jika kita ternyata sudah berusaha, maka tak perlu antum berkecil hati, barangkali antum tidak begitu sukses menyadarkan keluarga, namun kan ummat ini nggak hanya keluarga antum saja, ada banyak telinga dan banyak mata, yang saya yakin sebagian dari mereka akan ada yang mendengarkan seruan kita.

Berkacalah kita kepada Nabi Luth, berkacapulallah kita kepada nabi Nuh, atau sahabat Musab bin Umair, maka antum akan segera menyadarinya, karena keluarga antum masih terlalu sholeh dibandingkan dengan keluarga mereka. Tetaplah berbuat baik kepada orang tua, tetaplah berdoa’a untuknya, dan semoga saja dengan demikian akan terjadi perubahan dengan kehendak Allah. Keluarga jangan dijadikan sebagai sebuah dalil untuk berpaling dari dakwah, karena pada hakekatnya, orang akan lebih banyak menilai dari sikap kita.

Diantara sekian banyak aktifis dakwah ini, siapasih yang orangtuanya memang berangkat dari sebuah keluarga yang islami, saya yakin bisa dihitung dengan jari. Karenanya tak usahlah berkecil hati, karena ini adalah bagian dari dakwah kita pula. Kita tidak boleh enaknya saja, lahir dari keluarga yang Islami, berkecukupan. Apa yang antum nikmati saat ini, adalah sebuah proses pendidikan yang baik, sebuah proses pematangan diri jika antum mau menyadarinya.

Kurang Percaya Diri,
Saya pernah minta tolong kepada rekanan saya yang saya anggap mumpuni untuk menulis di Manarul ‘Ilmi Online, itung-itung belajar berdakwah melalui tulisan, namun apa jawabannya, saya takut nanti Allah akan menghisab saya disebabkan tulisan saya yang masih awam ini. Yang membuat saya heran, mengapa pertanyaannya tidak di balik saja, saya takut Allah menghisab saya karena saya mempunyai kesempatan, lalu tidak saya manfaatkan. Ia hanya kurang percaya diri.

Atau barangkali apakah jika antum diajak melakukan aktifitas dakwah selalu saja berkata, ane kan masih ikhwan-ikhwanan, ane kan ikhwan mbeling, dan kemudian karenanya tak mengerjakan satupun jua. Hati-hati, ketidak percayaan diri semacam ini akan membuat antum jalan ditempat atau bahkan mundur dari gelanggang. Hilangkan perasaan seperti itu, mulailah mencoba, dan yakinlah bahwa sebuah kegemilangan akan selalu berawal dari “memulai”. Jangan jadi nabi dahulu baru berdakwah, demikian sindiran ustadz Ibnu Juraimi ketika saya mengikuti PIR di Yogya beberapa tahun yang lalu. Mulailah berlatih dari sekarang.

Mulailah sejak saat ini untuk mulai menulis, jika antum ingin menjadi seorang penulis, mulailah menggarap buletin di kampus, jika antum ingin mengembangkan dakwah di dunia Jurnalistik, mulailah belajar berceramah, jika antum ingin berdakwah melalui wahana ceramah. Semuanya berawal dari sini, semuanya berawal dari kecil.

Salah satu hal yang perlu dicatat lagi, antum harus bisa membedakan, antara percaya diri dan rendah hati. Orang yang rendah hati akan berbicara, kemampuan menulis saya hanya pas-pasan kok mas, akan tetapi ia tetap menulis. Orang tak percaya diri akan mengatakan, kemampuan menulis saya hanya pas-pasan kok mas, akan tetapi ia tidak berani mencoba menulis.

Saat saya belajar mengelola Manarul ‘Ilmi Online, sebuah situs kecil, yang gratisan, barangkali ada yang berfikiran, situs sekecil itu takkan terlalu berarti dalam dakwah, tapi tahukah antum bahwa saya mempunyai “ambisi” besar dibalik pengelolaan situs kecil itu, yakni membangun konsep e-dakwah di kelak kemudian hari. Berfikirlah besar, atas nama dakwah, dan tentang berhasil tidaknya di kemudian hari, itu persoalan lain. Manusia diajarkan untuk berusaha, untuk berfikir maju, untuk berfikir berhasil. Dan Allah akan menentukan hasilnya. Akan tetapi yang lebih mengasyikkan adalah bahwa yang dinilai Allah ternyata adalah prosesnya. Karenanya marilah kita sambut dengan memberikan yang terbaik bagi dakwah, apapun hasilnya.

Penutup
Keluarlah dari belenggu perasaan antum sendiri, dan yakinlah bahwa sebenarnya perasaan kitalah yang seringkali menghambat aktifitas kita untuk maju, padahal realitasnya seringkali tidaklah demikian, karenanya beranilah untuk mulai melangkah.

Wallahu a’lam

Sby, 27 April 2002
Edy Santoso [email protected]
Webmaster at http://masjidits.cjb.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)