Minggu, 17 Maret 2002

Menjadikannya sebagai Hoby

Di sebuah warnet, seperti biasa, saya seringkali membuka-buka situsnya Eramuslim.com, karena selain informasinya bagus, ada sebuah rubrik yang cukup menjadi favorit saya , yaitu konsultasi keluarga. Meski saya belumlah berkeluarga, akan tetapi yang ada di dalam konsultasi itu, bagi saya lebih mencerminkan realitas persoalan yang harus dicarikan pemecahannya dengan gaya Islam, dan bagi saya ini adalah sebuah cara belajar terpenting daripada berkutat pada “TektBook” .

Ada sebuah pertanyaan menarik dari seorang netter ke ustadz Ikhsan Tanjung, yang kira-kira isinya seperti ini, “ Ustadz, saya akan segera menikah, tapi ada satu hal yang saya takutkan, saya khawatir, aktivitas Qiyamul Lail saya menjadi terganggu, karena adanya “aktifits lain”, dari orang yang telah bersuami”.

Dalam fikiran saya, orang ini sangatlah luar biasa, bagaimana tidak, saking sukanya berQiyamul Lail, sampai khawatir tentang pernikahannya yang akan mengganggu aktifitas berQiyamul Lail. Orang seperti inilah sebenarnya yang telah menjadikan aktifitas ibadahnya menjadi sebuah hoby, yang dengannya ia akan menikmati, yang tanpanya ia merasa kesepian, yang karenanya maka ia akan menomorsekiankan aktifitas-aktifitasnya yang lain. Dan yang paling luar biasa, hobynya adalah beribadah.

Memang demikianlah kalau orang sudah hoby, apapun tak kan ada yang lebih menarik jika dibandingkan dengan hobynya itu. Dalam hal diatas, bahkan menikah - kalaulah bukan yang diajarkan rasul - menjadi hal yang kurang menarik dibandingkan dengan hobynya itu.

Barangkali maqom tertinggi dalam ibadah adalah jika ia dapat menjadikannya sebagai hoby, karena ia akan mengerjakannya dengan tanpa beban, meski ia harus mengorbankan sesuatu yang bahkan bernilai besar baginya. Jika orang sudah hoby, maka yang ada adalah sebuah kenikmatan ketika ia melakukannya, ia akan melakukannya tanpa paksaan, tanpa pamrih.
Rasullullahpun begitu enjoynya ketika beribadah, hingga sahabat Anas, merasa “ampun-ampun” untuk berdiri dibelakang sholat lailnya, hingga kaki-kakinya bengkakpun tak kan terasa.

Sahabat Abdurrahman bin Auf, adalah orang yang hobynya sedekah, begitu menyenangkan ketika ia dapat memberikan sesuatu kepada ummat dan dakwah, tanpa beban ketika ia mengeluarkan hartanya. Bahkan, ketika suatu saat ia mendengar sebuah hadits, yang diriwayatkan Aisyah akan sabda nabi yang melihat Abdurrahman masuk surga dengan berjalan merangkak, maka saat itu juga ia menyedekahkan seluruh untanya dengan sukarela, dan mengatakan,”Saya ingin masuk surga dengan berjalan”. Begitulah kalau sudah hoby.

Imam Syafii lain lagi, bahkan beliau rahimahullah, bisa menghatamkan Alqur’an tiap hari, karena alQur’an beliau jadikan sebagai dzikir yang selalu keluar dari mulutnya dalam setiap kesempatan, seperti kalau kita barangkali “menyenyi “ , karena beliau menikmatinya. Itulah maka apa yang dikerjakannya menjadi ringan begitu saja.

Karenanya, barangkali kita harus mulai mengusahakan agar apa yang kita kerjakan ini, aktifitas dakwah kita ini, aktifistas menulis kita, aktifitas sedekah kita, menjadi aktifitas yang didalamnya dapat kita kerjakan dengan riang, dengan nikmat, dengan tanpa terpaksa.

Dan sebuah hoby tertinggi tingkatannya adalah hoby yang bernilai ibadah, hoby yang kita dedikasika untuk Allah, untuk Islam

Sedangkan hoby yang terendah tingkatannya adalah hoby yang bernilai maksiat, berzina, berjudi, narkoba. Maka yang mengerjakannya hanyalah akan menderita kerugian saja, di dunia dan akhirat.

Sedangkan hoby yang tanpa harga di akhirat adalah hoby yang hanya didedikasikan untuk kepuasan pribadi saja, meski barangkali tak berdosa, akan tetapi tak berguna di akhirat.

Karenanya barangkali yang terbaik adalah dengan menjadikan perintah Allah, sebagai sebuah hoby untuk kita kerjakan.

Wallahu a’lam
_________________
Sebenarnya terlalu berat untuk memposting tulisan ini, karena tulisan ini tak lain ditulis oleh orang yang hobynya hanya internetan saja, belum dapat menjadikan ibadahnya sebagai hoby, masih susah untuk qiyamul lain, masih sering terpaksa ketika melakukan ibadah-ibadahnya. Dan tulisan ini adalah tausiyahnya kepada dirinya sendiri. Tapi kalaulah ada yang ikut membacanya tentu dia tidak keberatan.

____________________________
Surabaya, 16 maret 2002
Edy Santoso [[email protected]]
http://masjidits.cjb.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)