Seminggu yang lalu, ketika badan saya mulai demam, dan kepala saya pening, saya tak memperhatikan kanan kiri saya, bagi saya tujuan untuk pulang mengalahkan ketertarikan pada segala sesuatu yang ada di sekitar saya. Melajulah Bus Patas yang saya tumpangi dan saya turun di pemberhentian terakhir Bus Patas di Terminal Tulungagung. Baru keluar dari peron dua orang anak menggugah kesadaran saya. “Mas kasih seribu mas,mas, “ katanya sambil merajuk. Sedang usia anak ini barangkali seusia Tasya, artis kecil yang sering tampil di televisi itu. Saya lalu meloloskan uang lembaran dua ribu rupiah untuk mereka berdua. Mereka nampak terlalu senang dengan uang pemberian saya.
Sebuah fragmen yang sangat seerhana, yang barangkali hampir setiap kita selalu saja menemuainya, di terminal, di stasiun dan tempat keramaian lainnya. Yang ditengah hiruk pikuk dan kesibukan yang ada selalu saja sosok-sosok seperti ini hadir di sela-selanya. Saya tidak tahu persis, apakah memang sosok seperti ini timbul akibat ketidak berdayaan, ataukah sosok yang timbul karena kemalasan. Kebanyakan orang memilih dalil kedua, karena paling tidak hal ini mendukung argumentasi mereka untuk tidak memberikan sesuatupun kepada mereka. Akan tetapi saya memilih dalil yang pertama, karena bagi saya seburuk-buruk orang, siapa sih yang mau menjadi peminta-minta. Tentu pekerjaan seperti ini adalah pekerjaan yang sangat mengorbankan perasaan, pekerjaan yang membuang rasa malu, pekerjaan yang begitu hina di mata semua manusia. Bagi saya hanya orang-orang terpaksa saja yang mau menekuni pekerjaan semacam ini. Jika saya tak mengeluarkan sepeser uang pun barangkali karena pelitnya saya, atau karena mereka terlalu banyak saja.
Sosok yang selalu dimaki dan di salahkan itu, ternyata dalam beberapa hari ini “menghantui” perasaan saya. Terkadang saya merasa sangat kasihan, atau terkadang bertanya tentang program JPS, apakah ada juga yang sampai kepada mereka ya ?? Atau secara ekstrim saya menanyakan kepada panitia zakat, apakah mereka terkadang juga terperhatikan dari zakat yang dikumpulkan selama ini, ataukah karena cap mereka yang sudah buruk lalu tak ada sama sekali kepedulian buat mereka.
Saya lalu bertanya lagi kepada diri saya, tentang bocah-bocah kecil peminta minta, mereka tentu tak mendapat kasih sayang yang layak, mereka tentu tak mendapat pendidikan yang memadahi, apatah lagi dapat belajar mengaji di TPA. Bagi mereka barangkali hidup saja susah, mau makan saja harus minta-minta. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang tak normal, mereka tak akan menikmati apa yang dirasakan teman sebayanya, bercengkerama nonton TV bersama keluarga, mengikuti les, mendapat penghargaan dari setiap yang mereka kerjakan, mengangankan masa depan yang cerah bagi diri mereka.
Lalu saya bertanya lagi, apakah pilihan mereka menjadi anak seorang pengemis, apakah pilihan mereka menjadi anak seorang gelandangan. Tentu saja tidak, karena jika diminta untuk memilih tentu ia memilih untuk dilahirkan oleh orang berada. Allahlah yang telah memilihkan mereka harus keluar dari rahim siapa, Allahlah yang menentukan mereka harus hidup dalam lingkungan yang bagaimana.
Lalu saya mencoba menarik kesimpulan, apakah sebuah kesalahan patut di tujukan kepada mereka, jika akhirnya mereka tak bisa sholat, tak dapat mengaji, tak mempunyai pekerti. Jika menyalahkan mereka, apakah cukup beralasan jika mengingat mereka memang tidak mempunyai kesempatan dan peluang. Jangan-jangan mereka sebenarnya adalah bentuk cobaan dari Allah, yang suatu saat ditanyakan kepada kita, karena sebenarnya orang normal seperti kitalah yang seharusnya bertanggungjawab atas bagaimana ia harus mengenal Allah.
Lalu saya menanyakan lagi tentang pemahaman ibadah saya selama ini. Karena sepertinya kita hanya terbuai oleh banyaknya hafalan dan bacaan, oleh banyaknya rakaat rakaat kita, oleh puasa-puasa sunnah kita, tapi selalu saja kita tak sedikitpun memahami bahwa masih ada orang-orang yang tak dapat menikmati Ramadhan karena kesulitan hidup, yang tak lagi berfikir menyambut hari kemenangan, karena mereka memang tak mempunyai hari kemenangan. Barangkali mereka memang yang terlupakan dari hari-hari Ramadhan kita, meski mereka sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita
Akan tetapi hal yang paling menyedihkan adalah bahwa sampai saat ini saya masih belum bisa berbuat apa-apa, karena paling-paling hanya ungkapan kesedihan yang sedikitpun barangkali tak ada gunanya bagi mereka.
Wallahu a’lam
[email protected]
Minggu, 09 Desember 2001
Yang Tersisa dari Ramadhan : Sebuah Ungkapan Keprihatinan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)