Sabtu, 22 September 2001

Ibu, Kuharapkan Kasih Sayangmu

Seorang anak putri, yang kira-kira usianya menginjak tiga setengah tahun, begitu bergembira ketika bapak kesayangannya pulang, selalu saja ia menyambutnya dengan penuh kegirangan dan memberikan pipinya sambil berkata, "obat lelah,.obat lelah." Sang ayah kemudian menciumi kedua pipinya dan memeluknya.

Ketika waktu makan, ia ingin pula disuapi sang ayah, ia sangatlah bahagia ketika ayahnya menyuapinya nasi sesuap demi sesuap ke mulut mungilnya. Demikian pula kalau waktu tidur, ia ingin sekali tidur disamping bapaknya. Bahkan kalau dikatakan kepadanya, �Bapak lagi sakit batuk dik, nanti adek ketularan lho�, ia bilang,� Bapak tidur di dipan luar, dan adek tidur di kursi.�

Lalu bagaimana dengan ibunya, sikap kepada ibunya tidaklah sebaik ketika ia bersikap kepada bapaknya. Padahal sewajarnya seorang anak akan lebih dekat kepada ibunya. Jika ibunya memaksa menciumnya saja, ia akan mengusapnya. Ia juga tidak mau makan kalau disuapi ibunya. Ia juga tidak mau tidur jika tidak ada di samping bapaknya.

Ibunya meninggalkannya pada usia satu tahun, untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar dengan meraup dolar Hongkong. Dan baru pulang setelah kontraknya selesai, yaitu setelah dua tahun. Kebiasaan seperti ini adalah kebiasaan yang lumrah dalam sebuah desa di kaki bukit di kota Trenggalek. Dengan menjadi seorang pembantu rumah tangga saja , sebulan bisa menghasilkan tiga sampai empat juta, lebih besar daripada penghasilan seorang Insinyur barangkali. Sehingga jangan heran jika meskipun termasuk daerah minus, akan tetapi setelah musim TKW beberapa tahun yang lalu itu, tidak ada rumah yang tidak bagus. Bahkan hampir dikata bahwa setelah pulangnya, para TKW Hongkong pasti akan membuat istana.

Tapi siapa yang menyangka, bahwa dengan ditinggal selama dua tahun, anaknya yang masih sekecil itu mempunyai "dendam" kepada ibunya, meski setelah kembalinya, ibunya selalu di rumah dan berusaha menyayanginya. Nampaknya kepergian ibunya selama dua tahun itu memberikan kesan bahwa ibunya tidak menyayanginya.

Apa yang saya ceritakan ini bukanlah cerita rekaan, akan tetapi terjadi dengan sebenar-benarnya, pada sebuah kampung yang sewaktu kecil saya telah dibesarkan.

Kelihatannya ada sebuah kebutuhan asasi pada diri seorang anak, yang walau ia dibelikan mainan apappun, diberikan kemewahan apapun, akan tetapi kalau tidak diberikan kasih sayang, barangkali ia akan mengalami kekecewaan. Kasih sayang, belaian, pelukan, nasehat, dan ASI yang diberikan seorang bunda barangkali lebih bernilai bagi seorang anak. Dan ketika seorang anak kemudian menjadi sosok yang baik, tentu ini adalah sebuah investasi yang luar biasa, yang akan selalu mengalirkan amal melalui do'a-do'anya.

Tetapi saat ini zaman nampaknya berubah, seorang ibu akan lebih disegani, dan orang akan lebih memandangnya dengan wah, jika ia mampu menghasilkan uang, meski ia harus �mengorbankan� belaian kasih sayang kepada anaknya.

Ibu saya, walaupun bukanlah seorang yang berpendidikan, akan tetapi saya sangat bangga kepadanya. Karena walaupun mainan waktu kecil saya adalah kereta dari kulit jeruk, gedebog pisang, yang walaupun saya tak pernah mempunyai pistol-pistulan dan robot-robotan, akan tetapi ibu saya telah memberikan kasih sayang sepenuhnya kepada saya. Ia tak pernah memnberikan materi berharga, hanya saja ia selalu mendidikku dengan kasih sayang. Beliau selalu mengawasi kami sambil berdagang kecil-kecilan di rumah. Maka tidak salahlah jika saya menjulukinya dengan murabbi saya yang sesungguhnya

Wallahu a'lam
Surabaya, Sabtu habis Subuh 8 September 2001
Edy Santoso, [email protected]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)