Beberapa saat yang lalu, beberapa rekan mengundang saya dalam sebuah acara tumpengan syukuran wisuda. Saya lalu membayangkan betapa indahnya saat-saat diwisuda. Beban berat yang selama ini menggantung di pundak akhirnya terselesaikan juga, harapan orang tua yang ingin agar anaknya menjadi Insinyur akhirnya menjadi kenyataan. Ah, betapa bahagianya, sulit terbayangkan……………..
Seminggu sudah saya berjalan kesana-kemari, telephon sana-sini, untuk mendapatkan tanda tangan tiga orang dosen, untuk keperluan study saya. Hanya untuk minta tanda tangan saja ternyata saya sampai membutuhkan waktu seminggu lebih dua hari. Lalu saya membayangkan, betapa enaknya menjadi dosen yang selalu ditunggu dan dikejar-kejar mahasiswanya.
Kemudian diantara rekan saya juga sudah banyak yang mulai bekerja, dan saya sekali lagi membayangkan, enaknya sudah bekerja, dapat uang sendiri, mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Andaikata saya sudah dapat bekerja sendiri, dan berpenghasilan cukup tentu saya sudah merealisasikan banyak angan-angan saya yang lain.
Ya, begitulah kira-kira, seringkali kita membayangkan betapa enak menjadi orang lain, dan betapa tidak enaknya menjadi diri sendiri. Ketika orang lain menjadi sesuatu, kita lantas ingin seperti orang lain yang kita pandang lebih enak itu. Orang yang sudah lulus barangkali membayangkan betapa enaknya sudah lulus, akan tetapi orang yang lulus barangkali berangan, betapa enaknya jadi mahasiswa seperti dahulu, yang tidak banyak ditanya, “Sudah kerja dimana Dik ?”
Bulan ini adalah bulan pernikahan di kalangan aktifis masjid ITS, dan barangkali, aktifis yang belum menikah mengangankan, betapa enaknya sudah menikah, ada teman berbagi rasa, saling mendukung , dan mengingatkan. Akan tetapi barangkali orang yang sudah menikah membayangkan pula, apalagi pas dimintai uang belanja istrinya :], betapa enaknya belum punya istri, belum punya tanggungan apa-apa, nggak ada yang memarahi kalau nggak punya uang, bebas melakukan aktifitas apa saja.
Memang enak membayangkan orang lain, karena seseorang kerap kali memang membayangkan enak-enaknya saja dan jarang mengetahui sulitnya, sementara jika kita melihat diri sendiri kita seringkali hanya melihat tidak enaknya saja, sehingga kita seringkali resah dibuatnya.
Setelah itu lalu saya membayangkan, betapa enaknya menjadi Saya, masih berstatus mahasiswa, tidak ada yang mengikat saya, bebas terbang ke sana ke mari, dan segudang keenakan-keenakan saya yang lain, yang tidak saya ungkapkan – takut kalau antum jadi pengin menjadi Saya- Dan seketika itu juga saya bergumam, “Ah, betapa enaknya menjadi Saya”
Barangkali memang sudah seharusnya membayangkan enaknya menjadi diri sendiri, karena dengan demikian kita menjadi lebih bisa bersyukur. Toh keputusan Allah merupakan keputusan terbaik bagi kita.
Wallahu a’lam
[email protected]
Minggu, 16 September 2001
Enaknya Menjadi Saya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
yaah..... memang rumput tetangga selalu lebih indah, tanpa kita tahu bahwa rumput itu sebenarnya beracun.........
BalasHapusah sayah juga, betapa enaknya menjadi sayah, masih bisa ngeblog dimana jutaan manusia lainnya tidak diberikan kesempatan yg menyenangkan ini
bersyukur cuma itu solusinya ya ndak ?
CMIIW