Selasa, 07 Juni 2016
Dunia yang Datar
Saya berkawan dengan banyak orang. Berbagai tipe, berbagai karakter. Ada yang ustadz, ada yang membaca 'alaihim dengan ngalaihim dan alaihim. Ada yang mobilnya bagus mengkilap, ada yang hanya mampu membeli sepeda pancal. Ada yang mengesankan ketika berbicara di depan umum, ada yang kalau berbicara membuat kita ngantuk. Ada politikus, pejabat, ustadz, petani, sopir, pembawa acara mantenan, tukang pentol, tukang adzan. Maacam-macam.
Adanya berbagai pekerjaan dan kedudukan, yang membuat dulu orang terbagi atas strata sosial terutama ninggrat - rakyat, ustadz - ummat, kaya - miskin. Ada yang berstrata tinggi dan rendah. Yang tinggi dihormati dan dipuja, yang rendah tidak dihargai dan kadang dihina.
Dalam interaksi saya dengan berbagai macam orang itu saya menemukan bahwa setiap orang itu memang didesain Allah dengan misi tertentu. Lalu dibekalilah orang itu dengan kemampuan tertentu sebagaimana misi yang seharusnya diembannya.
Ada orang yang mampu menghafal dengan cepat dan baik, ada orang sangat fasih kalau berbicara, ada orang yang terampil membuat sesuatu, ada orang dengan logika yang sangat baik, ada orang yang teliti, ada orang yang kalau ketemu selalu hangat.
Dari berbagai macam orang itu, maka terjadilah harmoni. Ibarat gamelan, adanya kendang, gong dan saron yang akan menghasilkan suara berbeda ketika dipukul dengan caranya masing masing. Walaupun bunyi dan ketukannya berbeda, namun paduannya bisa menghasilkan irama yang baik. Jika setiap gamelan kita tabuh dengan cara orang menabuh Gong, maka iramanya menjadi justru tidak baik. Itu yang sering tidak dipahami orang.
Untuk memimpin ibadah kita membutuhkan ustadz, untuk membuat program masyarakat kita membutuhkan orang terdidik, namun jika saya membutuhkan orang untuk membetulkan genting, butuh transportasi untuk mengantar bapak saya, maka orang-orang warung kopi yang dianggap tidak penting itu yang bisa saya andalkan.
Semua orang penting, itulah kesimpulan saya. Itulah yang saya maksud dengan "dunia yang datar". Asal tabiatnya baik, semua berharga, apapun status dan kedudukannya.
Dengan menempatkan dunia secara datar, maka kita akan bisa menghargai siapa saja, kita juga tidak akan sombong seandainya kita diberi kelebihan, karena orang lain juga mempunyai kelebihan yang tidak kita miliki, orang lain sanggup mengerjakan apa yang kita tidak sanggup.
Saya tertarik dengan perumpamaan Kiai Anwar Zahid. Beliau mengibaratkan struktur masyarakat itu seperti jari-jari. Jempol mewakili ulama, telunjuk mewakili DPR dan pejabat, jari tengah mewakili pengusaha, jarimanis mewakili ilmuwan, dan kelingking mewakili orang biasa/orang kecil.
Ketika mereka akan membuat masjid, maka tidak mungkin masjid selesai hanya dengan doa. Butuh legalitas pemerintah, dana orang kaya, dan butuh orang yang merencanakan. Tapi itu tidak cukup, kita masih butuh orang kecil untuk mengerjakannya, angkut genting, naik ke atap, gergaji ini itu. Dan membutuhkan semuanya untuk memakmurkannya.
Itulah gambaran kehidupan. Hargai setiap orang.
---
gambar dari pinterest
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)