Terus terang, selama ini saya sering mengikuti Editorialnya Media Indonesia baik di metroTV maupun di Media Indonesia Online. Saya sungguh terpesona mendengar baris demi baris yang dibacakan di Metro TV. Menurut saya apa yang disampaikan cukup berimbang, jujur dan aktual. Tapi semenjak ada aturan pemilihan presiden secara langsung, semuanya berakhir, saya melihat Media Indonesia tidak lagi netral.
Ada ketidak konsistensian yang dipilih dalam alur Editorialnya. Artinya suatu saat ia mengatakan sesuatu yang sangat nurani, tetapi dilain saat ia berpendirian lain, atau tidak mengangkat kasus besar yang bertentangan dengan pendiriannya sebelumnya.
Saya masih ingat, suatu hari Media Indonesia mengangkat konsistensi keteladanan dari PKS yang mengatakan bahwa tradisi dari petinggi PKS yang mundur dari partai ketika berada di jabatan publik ternyata adalah hal yang perlu diteladani. Dan sering mengkritik tentang masalah rangkap jabatan. Namun, ketika berita sangat besar terjadi, dimana Wakil Presiden melakukan rangkap jabatan (19/12), saya sebenarnya sudah surprise, paling tidak paginya (20/12) akan ada pembahasan tentang itu. Tapi betapa kecewanya saya karena yang diangkat adalah peristiwa bulu tangkis. Dan masalah rangkap jabatan yang selalu disinggung menjadi tak terangkat isunya.
Yang sangat mengecewakan adalah saat Media Indonesia mengambil topik Tegaknya Kepastian Hukum maka banyak kejanggalan yang saya temukan.
Orang awam saja bisa melihat bahwa kasus penganuliran Nur Mahmudi sebagai Walikota Depok itu penuh dengan ketidak adilan, dan dengan "ceto welo-welo" melakukan pembodohan terhadap rakyat, dan mematikan keadilan. Dari banyak berita di koran dan internet, kita memperoleh informasi yang maha banyak, betapa keputusan Pengadilan Tinggi Jabar itu penuh dengan ketidakadilan.
- Percaya Saksi karena disumpah, wawancara dengan hakim.
- Pengadilan menangkan badrul
- KPUD Depok, Kami Sudah Benar
Tapi Media Indonesia membuat kelucuan di paragraf-paragraf akhir :
Pertanyaannya adalah bagaimana jika hukum ditegakkan dengan sekehendak hati dan tidak memenuhi rasa keadilan publik ? akankah menurutinya tanpa perlawanan adalah akal sehat dan kelapangan hati ? Justru tanpa perlawanan maka hukum hanya akan dijadikan alat saja bagi sebuah ambisi.
Dan yang lebih benar adalah jika keputusan tidak ditunggangi oleh kepentingan politik dan ambisis kekuasaan.
Kembali tentang media, jika Media Indonesia sering berkata bahwa pejabat publik seyogyanya tidak rangkap jabatan dengan partai politik, seharusnya pemilik media seharusnya tidak juga merangkap di partai politik, karena sejak foto sang pemilik media bertengger di situs sebuah partai tertentu, Media Indonesia menjadi sering tidak objektif lagi. Sehingga maaf jika media ini akhirnya saya editorialkan di blog ini.
Saya setuju sekali dengan penilaian anda tentang bias MI terutama tentang kasus Depok ini. Cuman sayangnya kita nggak punya media untuk menyuarakan suara kita.
BalasHapusApalagi MI kelihatan sekali ingin menjustifikasi keputusan Depok dengan membawa konteks lain yang sama sekali tidak relevan bagi kasus ini, seperti kasus Lampung. Sebenarnya saya tidak terlalu khawatir jika kita hidup di alam yang bebas, tapi masalahnya masyarakat kita masih sangat kurang well-informed dalam memahami kondisi sosial, sehingga 'pembelokan' cara berpikir seperti MI menjadi sangat berbahaya jika tanpa kritik.
my $.02,
salam,
agusn