Kemarin saya mengikuti Training Jurnalistik. Ada satu hal yang menarik bagi saya, dimana menurut teori jurnalistik, Koran Kompas menduduki peringkat atas, baik dari segi pembuatan judul, tulisan, sampai komitmennya untuk tidak menampilkan gambar tersangka. Dan jika kehebatan Kompas dipandang dari segi itu, saya setuju.
Tapi dari kesemuanya, ada satu hal yang menarik; ternyata koran yang paling laris di Jawa Timur ini adalah Jawa Pos dan bukannya Kompas. Tentu anda akan heran, mengapa Jawa Pos yang dikatakan tidak terlalu standard dalam persoalan penulisan ini menjadi sangat menarik bagi orang-orang di Jawa Timur ? Dan mengapa Koran Kompas yang dikatakan paling standard ini termasuk koran yang sangat jauh berada di bawah Jawa Pos ?. Jawabannya adalah karena Jawa Pos mengenali "lidah" orang Jawa Timur. Dan dia menulis dengan gaya dan tampilan (layout) orang Jawa Timur.
Dalam banyak hal - tidak hanya terbatas pada koran - kesuksesan memang selalu diraih oleh orang yang mengenal pasar, lingkungan, kebiasaan dsb. Jika sudah mengenali, buatlah suatu produk dengan style mereka.
Sebenarnya teori ini ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. Kalau anda lihat, para Nabi selalu diturunkan selalu dengan bahasa kaumnya. Sebagai contoh, Nabi Muhammad yang diturunkan di Arab, maka bahasa yang digunakan juga bahasa Arab.
Saat istri saya hamil, saya berdiskusi dengan istri, apa panggilan anak kami untuk ibu bapaknya. Banyak alternatif yang masuk. Sebagai orang yang dekat dengan aktifis muslim, maka keluarlah alternatif panggilan Abi dan Ummi. Ada lagi alternatif yang biasa dipakai seperti ayah dan ibu, serta bapak dan ibu. Kami melihat pasar, lantas kami gunakan panggilan yang umum saja, Ibu dan Bapak.
Ada yang bertanya, kenapa bukan Abi dan Ummi. Abi dan Ummi itu kan bahasa Arab, yang artinya sama dengan ibu dan bapak. Dan saya fikir menggunakan kata Abi dan Ummi juga tidak lebih berpahala dari menggunakan ibu dan bapak. Malah kelihatan kurang memasyarakat. Jika dikatakan lebih mendekatkan dengan bahasa Arab sebagai bahasa Qur'an saya fikir agak jauh, walaupun niatnya benar. Bertahun-tahun saya menggunakan kata akhi, ukhti, ana, antum tapi selama bertahun-tahun pula ternyata kosakata saya, dan juga beberapa rekan saya nggak pernah bertambah. Sehingga mungkin bukan itu masalahnya. Akhirnya sekarang saya lebih suka menggunakan kata saudara, bapak dan kata lain yang lebih umum.
Saya berfikir juga, bahwa agama itu lebih banyak pada revolusi nilai, bukan pada budaya seperti bahasa. Sehingga kehadiran kita itu bukan untuk terlihat lebih asing dari masyarakat, tapi yang lebih adalah mendekatkan diri kita dengan lingkungan. Karena dakwah ini memang tidak sekedar beda.
Wassalam
achedy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)