Hari itu, sambil menunggu anak saya yang opname, saya sengaja makan dan ngopi di warung. Memesan makanan seadanya dan segelas kopi panas.
Didepan saya nampak seorang yang sedang ngopi juga, bakul kambing. Saya tahu dari motor yang terparkir di depan, dengan gerobak yang berisi seekor kambing di belakang.
Biasa, sambil ngopi kita ngobrol basa-basi tentang cuaca, biaya sekolah dan lainnya.
"Alhamdulillah, hari ini bawa enam kambing, dan laku lima", katanya dengan senang.
Dan sampailah pembicaraan pada topik yang menarik.
Dia bercerita dengan sedikit bangga, bahwa anaknya sekolah di Teknik Sipil Universitas Brawijaya. Saya bisa memahami, seorang bakul kambing yang anaknya sekolah di Universitas Favorit. Sama dengan ketika ayah saya memasang photo wisuda saya berukuran besar di ruang tamu. Meskipun saya tidak nyaman, namun saya biarkan, karena itulah kebanggaannya. Dia merasa itulah puncak perjuangannya.
Awal pembicaraan itu membuat saya agak tertarik, karena 6 tahun lagi anak saya akan kuliah. Dengan biaya kuliah seperti sekarang ini, nampaknya menguliahkan anak bukan sesuatu yang mudah.
"Habis berapa kalau masuk teknik Sipil?", tanyaku.
"Nggak bayar mas. Anak saya ini dulu sering rangking 2 di STM. Dia Ikut UMPTN". Hmmm, SMBPTN mungkin maksudnya.
"Ini adalah sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan. Masak bakul wedus bisa menguliahkan anak", katanya setengah tidak percaya.
Lalu dia menceritakan tentang kuliah di Malang. Biaya bulanan yang selalu dia kirimkan tiap bulan sejuta. 500 ribu buat biaya kos, 500 ribu buat biaya hidup.
"Jadi saya ini tiap bulan harus dapet dua juta, sejuta buat anak kuliah, sejuta buat yang dirumah. Kalau tidak hujan seperti ini saya selalu keliling dari pasar hewan satu ke pasar ehwan yang lain".
"Alhamdulillah, anak saya ini sejak sekolah tidak neko-neko mas. Mungkin paham bapaknya hanya seorang bakul wedus (pedagang kambing)", ucapnya dengan rasa syukur.
Hidup memang tidak linear, dan mimpi adalah hak setiap orang, bahkan yang tidak pernah memimpikannya sekalipun.
Rabu, 15 November 2017
Belajar Optimis dari Seorang Pedagang Kambing
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)