Kamis, 09 Juni 2016

Kiainya Para Kiai


Awal tahun 2001, tiga tahun pasca Reformasi, keadaan negara belum stabil. Walaupun saat itu Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh kubu Poros Tengah yang merepresentasikan kekuatan politik Islam, namun dalam perjalanannya, mayoritas faksi Islam di kalangan kubu Poros Tengah tidak setuju dengan kebijakan Gus Dur yang dianggap kontroversial. Diakui atau tidak, pertentangan elit atas itu berimbas ke masa akar rumput.

Sekitar Januari 2001, 15 tahun lalu itu, dua orang mahasiswa UI datang ke Masjid ITS. Mereka mengatakan keprihatinannya tentang kondisi bangsa. Kalau ini dibiarkan mereka takut akan terjadi perang saudara, atau setidaknya kerusuhan dikalangan sipil. Mereka mengajak untuk bergabung menyelamatkan bangsa. Memang agak sangar bahasanya. Tapi begitulah mahasiswa :)

Maka kemudian dari ITS, Saya dan Handik Setiawan yang saat itu sebagai pengurus Jamaah Masjid Manarul Ilmi ITS bersedia bergabung. Lalu ada mahasiswa Dokter Gigi Unair. Maka total ada 5 orang.

Mulanya mereka mempunyai keinginan untuk menghadap orang-orang penting itu, untuk mendinginkan suasana, namun tentu saja tidak mudah. Mahasiswa biasa yang tidak jelas asal usulnya mau bertemu dengan Gus Dur dan Pak Amin. Mungkin panjang rutenya. Akhirnya ada rencana yang lebih masuk akal. Melakukan silaturahim ke para ulama. Dan pilihan pertama jatuh ke Pesantren Langitan Tuban. Bertemu dengan KH Abdullah Faqih.

Kiai Abdullah Faqih adalah seorang ulama berpengaruh, selain kami meyakini bahwa beliaulah salah seorang guru Gus Dur. Maka pilihan ini dianggap sangat tepat.

Kiai Abdullah Faqih ini waktu Gus Dur menjadi presiden sudah cukup terkenal. Beliau oleh banyak orang diyakini sebagai salah satu Kiai Khos di tanah Jawa yang berjumlah sembilan orang, seperti logo NU yang dikelilingi 9 bintang. Yang dianggap sebagai penerus wali songo, walaupun beliau tidak pernah mengiyakannya.

Untuk memuluskan rencana, maka kami mengajak kawan yang masih keturunan Kiai, yang kebetulan seorang dosen. Kelak kami mengetahui bahwa beliau ternyata suami kawan kami yang pengurus Masjid ITS. 

Kami tiba di langitan habis Dhuhur. Tanpa banyak prosedur kami dibawa ke kediaman Kiai Abdullah Faqih.  Kediaman diantara bangunan pondok. Nampak seperti bangunan lama berdinding kayu. Sangat jauh dari kesan mewah.

Ada beberapa orang yang antri disana. Nampaknya, seperti kami, mereka ingin bertemu beliau untuk memecahkan persoalannya.  Mereka mengadu kepada beliau. Ada lulusan pesantren yang mau diangkat menjadi Imam Masjid dan Modin oleh masyarakat sekitar, namun alumni itu menolaknya. Mereka mengadukan hal ini kepada Kiai Faqih.

Kiai Faqih sangat bijaksana. Beliau akan memanggil alumni itu, namun beliau tidak bisa memaksa pilihan seseorang, dia cuma bisa mengajaknya bicara dari hati ke hati.

Setelah bapak-bapak dari kampung itu selesai dengan hajatnya, maka sekarang giliran kami. Sekitar 30 puluh menit kami membicarakan beberapa hal. Tentang negara, tentang ummat, dan tentu saja tentang Gus Dur.

Namun yang paling menarik dari pertemuan itu adalah, bahwa saya merasakan getaran lain. Semacam rasa haru yang luar biasa. Beliau kalau berbicara sangat pelan dan tawadhu. Tidak menunjukkan bahwa sebenarnya beliau adalah kiai besar yang disegani bahkan oleh presiden. Saya bertemu dengan banyak ulama dan cendekiawan, namun belum pernah sampai merasakan efek sedahsyat ini.

Kata-katanya mungkin sederhana, namun bisa meresap ke dalam hati. Efek lainnya, saya kadang-kadang bisa meneteskan air mata jika mengingat pertemuan dengan beliau. Mengingat pandangan dan nasehatnya kepada kami  yang santun dan bersahaja. Mungkin kamu mengira lebay, tapi itulah faktanya.

Saya menyimpan saja pengalaman itu dalam hati, hingga pada bulan berikutnya kami kembali ke langitan untuk kedua kalinya.

Kawan saya bertanya, bagaimana rasanya setelah bertemu dengan Kiai Faqih. Kami menceritakan pengalaman kami masing-masing. Kawan saya yang dari Jakarta, Imam, mengatakan, "Setelah ketemu Kiai Faqih saya langsung Sholeh selama seminggu hehehe".

Hampir semua yang hadir mengatakan hal yang sama, ada rasa haru mendalam ketika bertemu dengan beliau.

Ketika ilmu sudah menyatu ke dalam jiwa dan raga, maka diamnya saja bisa menjadi nasehat. Itu kira-kira kalau saya bisa memberi kesimpulannya. Berbeda dengan ketika belajar ilmu hanya untuk kesombongan, maka akan keluar dalam bentuk kemarahan dan kebencian.

Kini beliau telah tiada, namun auranya masih bisa saya rasakan. Saya bersyukur sempat bertemu dengan beliau, walaupun hanya 30 menit saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)