Minggu, 31 Agustus 2014

Ngobrol Soal Pendidikan Anak

Anak saya saat ini sudah kelas 4 SD. Dua tahun lagi sudah SMP. Saat ini saya menyekolahkan anak saya di SDIT, yang mana saya mempunyai akses disana, dan mengatahui apa saja yang diajarkan untuk anak saya, sehingga hati saya tenang.

Setelah SD, tentu akan melanjutkan ke SMP. Ini yang sering menjadi bahan diskusi saya, istri saya, dan beberapa orang yang mempunyai posisi serupa. Habis ini mau ke mana ?

Kemarin kawan saya datang berkunjung ke tempat saya, dia juga menyatakan bahwa belum ada SMP Islam Terpadu yang kita anggap qualified disini. Membuat SMP Islam sendiri yang berkualitas, juga bukan pekerjaan ringan.

Beberapa pilihannya adalah sebuah SMP Islam Terpadu di Surabaya. Saya paham benar akan SMP ini, dikelola oleh teman-teman ITS. Namun sekolah disana sangat mahal, dengan berkaca pada kondisi saya sekarang pasti akan menghabiskan resources saya.

Pilihan kedua mondok di Pesantren seperti beberapa kakak kelasnya, namun saya belum begitu mantap. Parameter keberhasilan yang biasa dijadikan perbincangan biasanya hafal beberapa juz dan sedikit bisa berbahasa Arab. Itu bagus, namun bagaimana dengan pendidikan karakternya? Personalitinya? Daya saingnya? Motivasinya? Mimpinya? Life skillnya?

Dari pertimbangan-pertimbangan itu akhirnya paling tidak untuk saat ini, saya akan memilih menyekolahkan anak saya di SMP Negri saja. Apa pertimbangannya?

Pertama, Usia SMP adalah usia pembentukan, sehingga saya belum siap untuk menyerahkan sepenuhnya pada orang lain dimana saya tidak terlibat sama sekali. Jika anak saya sekolah di SMP yang dekat dari rumah maka saya masih mendapat tanggung jawab mendidik di 50% waktunya.

Kedua, Sekolah Negri di dekat tempat saya itu, dimana saya pernah belajar disana, saya rasa mempunyai kualifikasi yang cukup bagus dalam soal akademik, meskipun pada hal-hal yang terkait agama tentu saja minim. Bahkan untuk bisa membentuk karakter, mimpi dll, saya juga belum yakin.

Lalu bagaimana untuk mengatasi kekurangannya itu ? Saya sudah menemukan solusinya. Bukankah saya orang tuanya, dan saya tentu bisa memberi komplemen yang tak diberikan sekolah. Bapaknya bisa memberi komplemen life skil dan ibunya bisa memberikan komplemen di pendidikan agama.

Kami hampir lupa bahwa kami pernah kuliah di Institut Teknologi terbaik di kawasan timur Indonesia. Kami juga pernah menjadi pengurus Masjid ITS dari masuk kuliah sampai keluar kuliah.

Saat ini saya juga orang yang punya minat di komputer, programming, piskologi, menulis, speaking, training, elektronika. Bukankah ini resources ? Apakah belum cukup percaya diri mengatakan bahwa saya cukup pantas untuk mendapatkan bagian waktu dalam pendidikan anak saya sendiri ?

Ini keren. Ini keren .... :)

2 komentar:

  1. Maaf cak kalo sy berpendpt sayang anak dr sdit lanjut ke smp neg bny bias dan tdk nyambungnya jd milih lanjut pesantren insya allah

    BalasHapus

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)