Senin, 14 Juli 2008

Politik, Demokrasi dan Ketidaksiapannya

Hingar bingar pesta demokrasi yang ditandai dengan penentuan urut partai politik yang akan dibarengi dengan diresmikannya musim kampanye menyisakan catatan tersendiri. Aktifitas saya akhir-akhir ini menjadi pelaku dalam sebuah partai politik menyisakan sebuah kesedihan bahwa ternyata rakyat tidak terlalu paham politik. Bahkan yang lebih menyedihkan, dia tidak terlalu paham mengapa dia memilih.



Saya setuju, bahwa langkah teknis menggunakan sistem demokrasi dengan perangkat utama pemilu adalah satu hal yang disepakati dalam banyak negara. Sistem ini dianggap adil sebagai sarana bagi elemen-elemen kekuatan bangsa untuk berkompetisi. Oleh sebab itu sesungguhnya elemen penentu kekuasaan(rakyat), harus mempunyai idealisme dalam memilih. Bahwa wakil yang mereka pilih akan mampu membawa negara ini kepada keadilan, kesejahteraan (ekonomi), dan kemajuan dalam berbagai bidang. Jika rakyat bersepakat dengan metode demokrasi sebagai seleksi masuk ke ranah kekuasaan, maka sesungguhnya menentukan hak pilih berdasarkan nilai idealisme itu sungguhlah teramat penting.


Namun kenyataannya, sedih saya. Interaksi saya selama ini dengan rakyat menunjukkan fenomena, bahwa kebanyakan rakyat belum paham tentang makna ini. Sehingga ketika menentukan pilihan dan dukungan bukan atas frame berfikir besar tentang kemakmuran negara dan bangsa, akan tetapi lebih pada manfaat pada dirinya sendiri. Siapa yang memberi banyak materi pada dirinya, maka dia akan mendukungnya. Pada level yang demikian, maka kekuatan yang didukung pendanaan yang besarlah yang akan mempunyai peluang besar untuk menjadi pemenang.


Disisi elit politik banyak juga yang berkelakuan kekanak-kanakan. Persoalan korupsi, tidak siap kalah, perpecahan, dan sikap bergaya hidup mewah ditengah penderitaan rakyat yang dihantam krisis juga semakin menunjukkan betapa mereka sesungguhnya telah menghancurkan impian rakyat.


Sedih saya mendengar berita pagi tadi di Maluku Utara, dimana bentrokan antar pendukung gubernur tak kunjung reda. Elit mengorbankan rakyat untuk sebuah kekuasaan. Ada pula mantan kontenstan Pilpress 2004 lalu yang sampai sekarang "berpling muka" dengan presiden terpilih, yang bahkan pada perayaan 17 Agustus dia tidak pernah datang memenuhi undangan kenegaraan. Bagaimana kita memilih pemimpin yang tidak dewasa seperti ini ?


Anda mungkin harus belajar pada persaingan perebutan tiket menjadi Capres antara Hillary dan Obama. Meskipun aura persaingannya maha sengit, namun ketika Obama pada akhirnya dinyatakan menang, Hillary pun mengcapkan selamat dan bahkan mengalihkan suaranya untuk mendukung Obama. Sportif. Saya dengar ini pula pada pilgub Jakarta, ketika Adang Darajatun dinyatakan kalah, maka ia segera mengakui kekalahannya dan memberikan dukungan kepada Fauzi Bowo. Masih sedikit ada harapan di negri ini.


Aturan Demokrasi tidak bisa berjalan sebagai sistem yang baik tanpa nilai kedewasaan dan sportifitas pemimpin, juga wawasan, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat. Bahkan menurut saya sesungguhnya bukan demokrasi jalan untuk menuju kesejahteraan rakyat, namun kesejahteraan rakyat itulah penunjang demokrasi. Demokrasi tak akan bisa menemukan maknanya diatas kemiskinan.

4 komentar:

  1. jadi kira2 situ sudah siap jadi caleg? ;)

    BalasHapus
  2. #DHIKA
    Sampeyan wae sing dadi aleg, aku tak sing dodolan sarung :D

    BalasHapus
  3. Enaknya blogger bikin agenda apa nih buat pemilu 2009? :)

    BalasHapus
  4. Saya setuju sekali dengan istilah ketidaksiapan,

    Memang perlu pendidikan politik yang baik, supaya setiap pemilu menghasilkan pemimpin yang baik dan bemutu.

    Salam.

    BalasHapus

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)