Sabtu Minggu kemarin saya pulang kampung. Dan setiap saya pulang kampung, selalu saya bertanya kepada ibu tentang keadaan kampung yang telah lama saya tinggalkan. Tak lupa, saya juga selalu menyambangi beberapa saudara, atau berbincang dengan orang-orang kampung yang saya temui di masjid atau di rumah saudara saya yang ada di depan sawah.
Dari berbagai perbincangan, hampir tidak saya dapatkan pernyataan-pernyataan optimis, semuanya pesimis. Memang, bagi yang tak punya modal kuat untuk berdagang, mempunyai sawah yang luas, atau mereka yang berstatus PNS yang tiap bulan bisa mengandalkan gaji, hanya ada satu pilihan, bekerja apa saja yang penting bisa untuk makan. Banyak orang akhirnya bekerja sebagai petani penggarap dan buruh tani dengan penghasilan rendah, atau membuat besek yang satu kodi hanya berharga empat ribu karena tak ada hal lain yang bisa dikerjakan. Selebihnya, mengadu peruntungan menjadi TKI meskipun belum tentu pulang dengan membawa hasil.
Sekarang apa yang bisa dilakukan orang-orang kecil selain menjadi buruh tani atau tenaga kerja supermurah ? Pendidikan rendah, ide tidak ada, modal apalagi. Lengkap sudah penderitaan.
Ketemu saya dengan seorang pedagang kecil, mengeluh dia, "Sekarang susah, pedagang besar membeli dalam jumlah besar dan menjualnya dibawah harga eceran, terus bagaimana kami bia hidup, toko masih bisa buka saja masih bersukur".
Pada keadaan sulit dimana penghasilan sangat kecil, sementara kebutuhan kesehatan dan pendidikan yang semakin mahal, terus apa yang bisa dilakukan kecuali pasrah. Masalah kemudian akan semakin berat tatkala lintah darat bermain ditengah masyarakat yang terjepit seperti ini.
Problem negeri ini yang belum pernah berubah adalah kemiskinan. Perasaan saya, sejak orde baru sampai sekarang, yang sudah menghasilkan banyak presiden, hanya menghasilkan perubahan peta politik dan buku sejarah, tidak mengubah nasib rakyat kecil sama sekali.
Saya bersukur, baru-baru ini presiden mengundang Muhammad Yunus, pemenang Nobel dari Bangladesh, karena aktifitasnya pada kredit mikro, ke Indonesia. Model pengentasan kemiskinan seperti ini harus diimplementasikan, bukan hanya menjadi wacana saja. Cara-cara penanggulanagan kemiskinan dengan BLT seperti yang lalu jangan diulang lagi, karena tak membantu masyarakat dalam jangka panjang. Mengapa dana itu tidak kita gunakan untuk kredit mikro seperti yang dilakukan Muhammad Yunus ?
Kredit saja tidak cukup
Kredit saja tidak cukup. Karena kebanyakan masyarakan penerima kredit bukanlah orang yang banyak ide. Jangan berharap dengan mengucurkan kredit mereka langsung berubah secara ekonomi. Berwirausaha itu nggak gampang, apalagi mereka bukan orang yang berpendidikan tinggi. Para konsultan dan orang-orang pinter itu yang harus berfikir, sedangkan rakyat yang tak pernah sekolah di tataran implementasinya saja.
Saya coba tanya mereka, apa kira-kira potensi daerah ini yang bisa dikembangkan ? Tidak ada yang punya ide, kecuali kebiasaan yang selama ini mereka kerjakan. Menjadi buruh tani di sawah, itu saja. Atau, jika bernyali, mereka akan mencari pekerjaan pabrik di kota, atau ke perkebunan di Sumatra atau Kalimantan, atau bahkan ke Malaysia.
Kira-kira seperti apa penanganannya ? Beri mereka ide dan dana. Modal dan pendampingan.
Dengan demikian mudah-mudahan mereka akan bisa merasakan kemerdekaan bukan sekedar sebuah seremoni, namun kemerdekaan untuk hidup dengan cukup di negeri sendiri.
Sebelum kembali ke Surabaya, seorang yang masih saudara mengeluh. Mas, sekarang sudah jarang ada pengiriman barang, sehingga sudah berhari-hari tidak nyopir lagi. Kalau ada informasi pekerjaan, tolong dong saya dikontak. Hmmm saya tidak mempunyai kawan-kawan pabrik, kalau IT mungkin ada, tapi tentu dia tidak butuh. Kalau kawan-kawan ada yang membutuhkan sopir truk sampai sopir pribadi ?.
Kamis, 16 Agustus 2007
Yang Sedang Menantikan Perubahan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
pak, ini kunjungan pertamaku, salam kenal ya! Moga dengan blog ini makin banyak yang terinspirasi, amien
BalasHapus#1. Terimakasih mas Agah
BalasHapus