Jumat, 28 Januari 2005

Jiwa - Jiwa Penolong

Selepas dari masjid untuk menunaikan sholat dhuhur, saya ketemu dengan seorang tukang bakso. Tidak seperti biasanya yang membawa rombong. Baksonya cuman dipikul saya. Saya lantas mengajak rekan saya untuk membeli bakso dan makan bersama. Selepas makan dan kami berjalan ke kantor, dan saya mengatakan ke rekan saya bahwa sebenarnya saya tidak lapar, dan tidak ingin makan bakso. Namun penampilan tukang bakso itu yang membuat hati saya tergerak untuk membelinya. Sehabis itu saya diskusi kecil dengannya tentang makna tolong menolong sampai kami tiba di kantor.


Hasrat menolong itu sebenarnya terkait dengan kejiwaan, ketajaman hati, dan kepekaan sosial. Ia bisa tumbuh dimana saja, kepada siapa saja, dan kapan saja tanpa memandang status dan kondisinya, apakah kaya atau miskin, apakah sedang senang atau susah, dan bahkan tidak terkait apakah ia ikhwah atau bukan. Terkadang, ada orang yang berkelebihan, akan tetapi ia berat sekali untuk menolong sesama. Dan sebaliknya, terkadang orang sedang berada pada posisi kesulitan, tapi hatinya tergerak untuk membantu sesama.


Saya sangat suka dan sering sekali melihat acara "Toloooong" di SCTV. Acara yang di konsep oleh Helmy Yahya itu cenderung untuk mengangkat spontanitas seseorang dalam menolong. Dan tentu banyak pelajaran yang bisa diambil disana.


Ada hal yang membuat saya cukup terkejut. Dari beberapa pengamatan di beberapa episode ternyata kita bisa melihat bahwa orang cenderung menolong orang yang bersih, cantik, terpandang daripada seorang yang berpenampilan biasa saja atau miskin. Kedua, ternyata orang yang terbiasa hidup kesulitan akan mempunyai jiwa penolong yang lebih besar daripada orang yang terbiasa hidup enak.


Seorang ibu penjual jamu sorong, menolong seorang yang sedang membutuhkan jamu yang sedang kehabisan uang belanja. Padahal ketika sebelumnya ia meminta kepada para penjual besar, ia tidak dikasih. Demikian pula seorang ibu yang butuh uang untuk suntik anaknya dan menjual radio tapenya, dibeli oleh seorang tukang kelontong dengan harga dua kali lipat, padahal ketika sebelumnya ditawarkan kepada seorang penjual besar, ia tak terbetik untuk menolongnya dengan membeli radiotapenya. Seorang ibu meminta kepada banyak orang untuk membawakan barang belanjaannya ke seberang jalan, namun tak ada yang tergerak hatinya untuk menolong, kecuali seorang pengemis yang sedang menggendong anaknya.


Saya tidak percaya, bahwa orang yang lebih berpandidikan, lebih mapan, bahkan aktifis pengajian, tidak mempunyai kepekaan lebih. Namun fenomena telah mengatakan, bahwa jiwa penolong tidak akan tmbuh jika hanya diajarkan dengan kata-kata. Jiwa penolong akan tumbuh jika ia sering diinteraksikan dengan lingkungan sosial yang serba kesulitan.


Mungkin ini pula yang harus kita fahami, dan mungkin bahkan .... akan kita jadikan metode untuk mendidik anak-anak kita agar lebih peduli dan mempunyai kepekaan jiwa, yang akan menembus sendi-sendi keakuan dan egoisme.


Salam


achedy

2 komentar:

  1. mencetus rasa bahagia dalam memberi, bersumber dari rasa kemanusiaan yg halus, tapi mempunyai kekuatan utk mengerakkan seseorang utk berbuat kebajikan dari sekecil2nya kepada yg sebesar2nya

    BalasHapus
  2. Benar sekali,kita perlu sekali menanamkan jiwa Memberi tak harap kembali ;)

    BalasHapus

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)