Dulu, sewaktu masih menjadi mahasiswa, satu hal yang sangat saya takutkan adalah ketika akhir semester usai , dan saya harus menghadap dosen wali untuk mengambil FRS lanjutan. Setiap mau menghadap, terbayang bagaimana dosen wali saya akan marah, tidak suka, bertanya sana-sini dengan setengah mengejek dan sebagainya; karena memang setiap semester nilai saya sering tidak bagus. Membayangkan hal-hal demikian, menjadikan saya sering merasa mulas diperut jika akan menghadap dosen wali. Ketika hal itu akhirnya berlangsung, ternyata apa yang saya bayangkan sebelumnya sering tidak terjadi, meskipun terkadang memang terjadi juga :) . Dengan demikian sebenarnya saya telah rugi, karena bayangan yang ada di fikiran saya ternyata telah menggerogoti perasaan, dan menjadikan saya lelah karenanya. Padahal kenyataannya mungkin saya jarang mendapat marah, karena yang antri perwalian juga cukup banyak :). Atau, toh kalau ternyata dimarahi, paling juga tidak sampai lima menit. Dan sehabis itu selesai ;).
Kalau tidak kita sikapi dengan benar, bayangan-bayangan yang ada dalam fikiran kita terlalu kuat mempengaruhi diri kita; sehingga bahkan bisa melunturkan niat, dan memundurkan langkah. Sebuah plan yang telah dibuat berbulan-bulan bisa gagal total karena persoalan bayang - bayang.
Pernah seorang rekan saya akan menikah. Hari sudah ditentukan, dan segalanya sudah disiapkan. Beberapa minggu sebelum acara, calon istrinya membatalkan pernikahan itu. Dimungkinkan adalah karena ia takut terhadap bayang-bayang masa depannya. Teman saya itu kerjanya memang tidak tetap. Tapi bayang-bayang itu akhirnya tidak terbukti, karena sekarang ia telah menjadi pengusaha yang cukup sukses, meskipun masih belum menikah juga.
Lantas dengn demikian, apakah kita tidak boleh khawatir, waspada ? Boleh saja. Akan tetapi ada hal prinsip yang membedakan antara takut bayang-bayang dan kewaspadaan. Takut bayang-bayang tidak pernah memperhitungkan nilai positif, dan yang ada adalah bayangan kekhawatiran, kegagalan, kesialan, pesimisme, dan keputusasaan. Sedangkan khawatir adalah sebuah sikap kehati-hatian dari sebuah nilai optimisme.
Sebelum menikahpun saya dihantui dengan bayang-bayang. Bagiamana saya punya uang untuk mengontrak rumah, memberi makan minum keluarga dan sebagainya. Dan setelah menikah ternyata saya bisa menghadapi semuanya. Demikian pula ketika istri saya akan melahirkan. Muncul bayang-bayang pula, dan ternyata ... dengan pertolongan Allah, saya masih bisa menghadapinya.
Sebenarnya kita akan bisa menghadapi bayang-bayang, jika kita mempunyai sikap tawakal kepada Allah. Karena itu, sudah seharusnya kita melakukan sesuatu dengan nama Allah. Bismillah ........., dan jangan pernah takut hanya dengan bayang-bayang.
salam,
achedy....
petikan dr e-mail [email protected]
BalasHapus” Ada apa denganmu ? ” .....................
Saudaraku ..........
Aku ingin memahamimu
Layaknya pengertianku akan gelap terang sudut hatiku
Saudaraku
Aku ingin mengerti ikatan ini
Selayaknya isyarat Rasulullah
Bahwa aku dan kau adalah satu tubuh
Saudaraku...
Aku ingin menampung setiap tetes keluh kesahmu
Dalam cawan hatiku
Hingga ku mampu meneguk kesedihanmu
Dan senyum itu pun kembali melekat di wajahmu…….
Jika cinta adalah tangismu
Maka biarkan air mata itu menelaga hingga aku pun berenang mengarunginya
Jika cinta adalah gelakmu
Maka biarkan aku menjaga kesedihanmu tertidur pulas di bilik
persembunyiannya
Jika cinta adalah amarah
Maka biarkan aku menampung bara itu
untuk menghangatkan kebekuan jiwa
Andai indahnya ukhuwah ini bisa terlukiskan
maka tak cukup warna cinta untuk menuangkannya ……..
Andai cinta ini bernama
Maka biarkan namamu selalu bersanding dengannya ......
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat ” ( Q.S 49:10)