Jumat, 03 Januari 2003

Kudambakan Maafmu

Beberapa saat yang lalu, seseorang mengeluh pada saya, tetangga dekatnya tak mau disapa, bahkan ketulusan hatinya untuk meminta maaf atas segala dosa tak terlaksana juga. Entahlah, mengapa kebekuan hati tetangganya tak tercairkan juga tatkala tangannya dengan ikhlash ingin meminta maaf kepadanya.

Saya tak tahu harus berbuat apa, saya sendiri bukanlah konsultan yang bisa segalanya, tapi entahlah mengapa ia meminta saran kepada saya, orang yang pantasnya telah menjadi cucunya. Saya berkata pelan, berbuat baik sajalah ibu kepadanya, jika ibu mau mendahuluinya untuk mengulurkan tangan kepadanya, insyaallah kemuliaan akan berada di sisi kita, insyaallah lama-lama hatinya akan luluh juga. Dan beliaupun akhirnya menerima saran saya jua.

Demikianlah hati yang masih terbuka, tatkala ada hal yang salah, maka ia akan merasa tidaklah tenteram untuk menimbun dosa, begitu kuatnya keinginan kalbunya untuk segera dibukakan pintu maaf dari orang dianggapnya telah mendzoliminya, karena jika tidak, maka ia akan merasa sengsara dan tertekan.

Semua orang tentu tidak bisa lepas dari kesalahan, entah itu besar, entah kecil. Cobalah bayangkan, apa yang kita lakukan kemarin ketika melihat rekan kita akhwat berbicara dengan ikhwan tentang sebuah urusan, mulut kita kemudian usil, “ah, ukhti anu mulai dekat dengan akh anu nih”, kita ngegosip. Atau ketika orang lain menawarkan bantuannya kemudian di relung hati kita mulai ada rasa su’udzon, wah akhi anu mulai perhatian nih, padahal kalau kita menanyakan yang sebenarnya barangkali 80% nggak bener. Itulah dosa-dosa yang seringkali tak tersengaja yang mengalir begitu saja dari mulut dan hati kita.

Kata Sherina semua manusi di dunia pasti punya kesalahan, tapi hanya yang berjiwa berani , yang mau mengakui. Tapi hanya yang berjiwa ksatria yang mau memaafkan.

Yang dimaksud mengakui sebenarnya adalah bagaimana diri kita mulai menyesalinya, dan kemudian berusaha agar sakit hati orang yang kita dzalimi terobati. Tapi ini lebih mudah jika di bandingkan jika seseorang harus memaafkan. Orang yang berpeluang memaafkan, ia akan berada di atas, dia bisa mempunyai pilihan memaafkan atau tidak, dan ia tidak merasa berbeban apakah kemudian ia menerima maaf orang yang merasa mendzaliminya ataukah tidak, karena ia memang tidak merasa bersalah.

Akan tetapi lain dengan orang yang berdosa, ia hanya mempunyai satu pilihan, di maafkan, karena jika tidak, ia merasa betul-betul tersiksa, batinnya menjerit, karena ada ruang hidupnya yang bernoda dan tak terbersihkan.

Jika ternyata seseorang datang dengan ketulusan hatinya, dengan keterbukaan jiwa, mengapa kita tidak mengulurkan tangan kita jua, mengapa kita tidak berusaha berbesar hati untuk memberikan kesempatan kepadanya, untuk memperbaiki dirinya. Mengapa kita lebih memilih menutup pintu dan jalannya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Sudahlah, percayalah, bahwa sebenarnya orang yang meminta maaf, adalah orang yang ingin kembali ke dalam pertaubatan, orang yang ingin kembali kepada cahaya. Dan jika orang yang dimintai maaf itu adalah anda, maka sebenarnya anda telah berpeluang untuk mendapatkan kemuliaan, karenanya mengapa tidak segera kita manfaatkan.

Di Metro TV, beberapa waktu yang lalu menayangkan semacam film documenter seorang ulama besar Buya HAMKA. Saat masih orde lama, ia ditangkap Soekarno, dengan alasan yang kurang jelas, menjadi mata-mata Malaysia. Beliau disiksanya, hingga kemudian saking sakitnya, pernah terbersit keinginan dalam hatinya untuk bunuh diri saja. Tapi Alhamdulillah Allah masih menolongnya. Kata Abdul Qadir Jaelani yang diperjara pula bersamanya, siksaan yang peling berat adalah dimasukannya seseorang ke dalam air, lalu air itu diberinya aliran arus listrik , hingga muncul sakit yang tak terperi rasanya.

Tapi kemuliaan ada di hati HAMKA, saat Soekarno meninggal mendahuluinya, iapun mau mensalatinya, sebuah ungkapan pemberian maaf tertinggi darinya. Dengan memaafkannya, bukan menjadikan HAMKA menjadi terhina, bukan menjadikan HAMKA menjadi kalah, tapi dada-dada generasi berikutnya mencatatnya menjadi sebuah suri tauladan terindah, mencatatnya sebagai sebuah kemuliaan, dan HAMKA pun menang.

Surabaya, 28 Desember 2002
Edy Santoso

[email protected]
http://www.geoicities.com/achedy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)