Selasa, 04 Juni 2002

Mengaji Dari Orang Di Sekitar Kita

Kalau kita mendengar kata mengaji, selalu saja teringat seorang ustadz, dengan sekian santri mengengelilinginya. Selalu saja teringat dengan sekian ribu masa yang berkumpul mendengarkan ceramah kiai anu. Akan tetapi bagi saya, mengaji bukanlah hanya sekedar itu, ada banyak hal lagi yang bisa disebut mengaji. Kalau saya mengatakan, mengaji dari orang sekitar, tentu bukannya ia kita hadirkan untuk memberikan ceramah kepada kita. Bukan itu, akan tetapi kita akan belajar dari sikap hidup seseorang yang ada di depan mata kita, disamping kita, dan di kanan kiri kita. Marekalah yang dapat kita jadikan sebagai “ustadz-ustadz” kita yang akan memberikan materinya dengan keindahan sikapnya.

Tentu, tidak semua hal yang dilakukan orang disekeliling kita bernilai baik semua, akan tetapi ada sikap-sikap tertentu dari seseorang yang dapat kita jadikan sebagai mutiara taushiyah bagi kita, sebagai penyejuk jiwa, pemompa semangat. Dan tentu saja ini lebih berkesan, karena untaian pena yang diberikan oleh “guru mengaji” kita itu adalah sebuah sikap terhadap realitas hidup, sesuatu yang ada di depan mata kita. Nilai-nilai tanggung jawab, pengorbanan, keikhlasan, dan kesabaran.

Pengajian pertama,
Ayah saya, terlepas dari segala kekurangannya, adalah orang yang bagi saya sangat berkesan. Seorang guru SD yang hampir pensiun, yang sampai sekarangpun, pergi kemana juga harus pake sepeda pancal tua. Apalagi kalau saya melihatnya dengan sepeda pancalnya itu berbelanja minyak, untuk toko kecil kami, membuat saya semakin terharu. Ayah saya tak membeli motor bukan karena apa, hanya karena menginginkan saya, dan adik saya melanjutkan kuliah, menginginkan agar saya menjadi orang yang berwawasan. Beliau tak pernah memperhitungkan apapun kalau untuk persoalan kuliah, tapi kalau untuk membeli fasilitas rumah, apapun selaliu ia pertimbangkan. TV misalnya, nggak ada niatan untuk menggantinya dengan yang berwarna.

Ayah rekan saya saja, yang lebih kaya, tak mau menyekolahkan anak, karena persoalan biaya; buat apa menyekolahkan anak tinggi-tinggi, toh kalau akhirnya menganggur juga. Atau ayah rekan yang lain saja, lebih menginginkan mobil dibanding sekolah anaknya.

Ayah saya barangkali tak pernah mengajarkan bagaimana bersikap pada orang tua, tapi bagi saya, sikapnya telah memberikan pelajaran tentang nilai pengorbanan dan rasa tanggung jawab, seorang bapak kepada anaknya. Itulah, mengapa bagi saya, orang yang paling saya takuti adalah orang tua. Semoga Allah mengabulkan harapan-harapannya.

Pengajian Kedua,
Seseorang rekan, karena merasa sudah mampu, memberanikan diri untuk “menanyakan” kepada seorang gadis, untuk dipersuntingnya. Tak usah melewati masa-pacaran, karena keduanya telah mengerti tentang persalan itu. Beberapa saat setelah proses lamaran, terkejutlah ikhwan itu, karena tanpa alasan sang gadis membatalkan rencana pernikahan yang sudah dipersiapkan. Saya mencoba menanyainya, tapi jawabnya,” Rasa sedih sih ada, tapi sudahlah, nggak perlu diingat-ingat lagi, saya nggak tahu, mungkin salah saya”. Sudah dikhianati masih bilang, mungkin salah saya. Padahal mungkin kalau saya, sudah tidak termaafkan. Saya belajar banyak darinya, menghadapi cobaan, mengatasi kekecewaan, bersabar dan bertahan, dari goncangan yang teramat besar barangkali, juga memaffkan. Dan bahkan mencoba mengoreksi diri, satu hal yang jarang dilakukan banyak orang saat ini. Semoga Allah menguatkan kesabarannya.

Pengajian ketiga,
Dulu, rekan saya mengajar TPA, suatu saat menceritakan tentang santri privatnya yang dibelikan baju orang tuanya bernilai ratusan ribu. Lalu bilang,”Mas, apa bisa ya saya besuk membelikan baju semahal itu untuk anak saya”. Saya hanya menghela nafas panjang, sebuah taushiyah untuk sebuah rasa tanggungjawab. Dan alhamdulillah, diusia yang lebih dari 35 tahun, akhirnnya ia menikah, semoga Allah membukakan rizqinya.

Masih banyak pengajian-pengajian lain, dengan topik yang berbeda-beda tentu saja, yang kalau kita mengingatnya, kalau kita menuliskannya, terkadang tanpa terasa meleleh air mata kita.

Wallahu a’lam

Trenggalek, 31 Mei 2002

Edy Santoso
Email : [email protected]
http://masjidits.cjb.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)