Minggu, 20 Januari 2002

Membuat Icon

Barangkali tidak ada yang tidak mengetahui tentang Icon. Icon seringkali dikaitkan dengan simbol yang ada di desktop komputer, yang mengingatkan kepada kita untuk meng “klik”nya ketika kita ingin membuka sebuah program aplikasi. Tetapi sebenarnya ikon adalah simbol, yang ketika seseorang menyebutnya maka ia akan mengingatkannya pada suatu hal. Barangkali kalau seseorang ingat Monas maka akan terbayang Jakarta dengan segala hiruk pikuknya, maka dikatakan monas adalah iconnya Jakarta. Ketika kita menyaksikan gambar ka’bah, maka seringkali akan terbayang Saudi Arabia, tempat kakbah didirikan, dan jika demikian maka dikatakan bahwa ka’bah adalah ikonnya Saudi.

Demikian pula organisasi, atau partai, atau departemen, maka ia berusaha untuk membuat sebuah logo yang jika ia melihatnya maka kita kemudian akan dapat mengingatnya, demikian pula dengan sebuah produk. Icon dibuat untuk mudah diingat, dimengerti, dan mengesankan.

Kalau menurut saya, sebenarnya, bukan hanya sebuah produk, yang seharusnya mempunyai ikon. Manusiapun seharusnya juga menjadikan dirinya sebagai icon. Karenanya ketika orang melihat kita maka yang terbayang adalah adalah sebuah perilaku yang baek, yang dapat memberikan kesan kepada orang lain. Apatah lagi jika kita ini adalah seorang muslim, yang memang kewajiban kita untuk meninggalkan tapak-tapak kebaikan bagi orang lain.

Saya pernah membaca sebuah konsultasi di majalah, isi konsultasi itu adalah penyesalan seorang suami. Ceritanya ada seorang suami dengan seorang istrinya yang telah menikah bertahun-tahu dengan penuh kebahagiaan. Istrinya adalah seorang yang amat baik, seringkali ia membuatkan minuman untuk suaminya. Dan ketika suaminya sakit ia pula yang merawatnya dengan telaten. Namun tidak tahu, mengapa suatu saat ia tergoda dengan perempuan lain. Ia berselingkuh.

Namun suatu saat istrinya mengetahui perbuatan suami itu. Dan amat marahlah ia. Ia tidak menyangka kesetiaannya pada suaminya, dan cintanya yang besar itu dikhianatinya, ia tidak terima dan minta dipulangkan pada orang tuanya. Ia menjadi benci pada suaminya karena telah mengkhianatinya. Ia tidak mau menemuinya lagi dan menuntut suaminya untuk menceraikannya.

Setelah beberapa hari ditinggalkan istri ternyata sang suami begitu menyesal, apalagi kalau ia ingat kebaikan istrinya selama ini, yang selalu menjaganya, mencintai dan lagi baik perangainya. Seakan tanpanya ada yang hilang dalam hidup ini yang tidak dapat diganti dengan siapapun dan berapapun. Iapun menyatakan penyesalan kepada istrinya, dan menginginkan agar si istri memaafkannya. Akan tetapi si istri telah sakit hati, dan tetap menuntut cerai. Melihat kegigihan istrinya yang menuntut cerai dan tak mau ditemui itu ia menjadi limbung, lalu ia seringkali melewati depan rumah isterinya dengan perasaan putus asa. Ia merasa bersalah dan minta maaf padanya, meskipun pintu maaf dari sang Istri telah tertutup.
Akhirnya ia meminta bantuan ke majalah itu untuk memecahkan masalahnya, karena ia tidak bisa melupakan istrinya.

Cerita diatas menggambarkan bahwa si Istri telah dapat membuat dirinya sebagai icon bagi suami, yang dengan mengingatnya, maka teringat pula ia sosok istri yang baik dan setia.

Seharusnya demikian pula dengan kita, hingga ketika orang melihat kita maka akan melihat kedermawanan jika kita kaya, kesabaran jika kita tidak begitu beruntung, suka menolong, suka berkorban, ramah, dan banyak nilai kebaikan yang lain. Dan hindari pula membangun kesan bahwa kita itu orang yang keras, suka kekerasan, suka mencela, maunya sendiri dll. Karenanya masing masing kita seharusnya membangun ikon kedamaian, kebaikan, kasih sayang, dan perdamaian.

Karenanya buatlah diri kita menjadi icon, yang akan mengingatkan orang lain akan sebuah nilai kebaikan. Toh berbuat baik itu tak dibatasi oleh dimensi duniawi, apakah kita kaya, atau miskin, apakah berpangkat atau tidak, ataukah ustadz atau ummat, semuanya bisa melakukan kebaikan. Dengan kapasitasnya masing-masing tentu saja

Wallahu a’lam

[email protected]
19 January 02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)