Rabu, 05 September 2001

“Tool” Membuat Dakwah Lebih Bermakna

Saat Pembukaan mentoring tahun 2001 kemarin, yang kebetulan pula saya “dipatah” untuk menjadi moderator, saat itu Dr. Nuh [Dir Poltek] mengatakan bahwa seorang muslim harus mempunyai “tool”, alat, agar reaksi dari efek seruannya lebih dahsyat. Bayangkan saja, jika seorang mahasiswi, sekolah tinggi-tinggi, berjilbab rapi, baik sama tetangga kanan kiri, tentu orang kampung kita akan mengatakan, “ Wah, mbak anu saja yang sekolahnya tinggi semakin rajin mengaji, lho”. Sesuatu yang terkadang hanya merupakan kebiasaan saja, telah menjadi bernilai dakwah kalau dilakukan oleh orang yang mempunyai tool.

Pada kesempatan sebelumnya, pada Program Study Islam III, yang kebetulan pula saya menjadi moderatornya, Dr. Abdullah Shahab [MM ITS], pernah bercerita tentang pengalamannya yang menarik. Suatu saat beliau membuat sebuah puisi, maklum lha wong masih SMA, dan menunjukkannya pada temannya. Barangkali asik juga mungkin kalau disebut sebagai Mr. Penyair – kayak Aisyah Putri aja :] - . Ketika ditunjukkan kepada temannya muncullah berkomentar, “ Wah, kata-katanya agak berantakan, trus estetikanya nggak muncul, belajar lagi aja deh.

Suatu saat ia mempunyai puisi lagi, akan tetapi tidaklah ditulis “karya Abdullah Shahab”, akan tetapi ditulis “karya WS Rendra”. Ternyata komentar temannya jadi lain, “ Sebuah karya sastra yang sangat bermutu, sulit membuat susunan kata yang indah seperti ini”. Dan setelah diberitahu bahwa sebetulnya ini adalah karyanya, maka komentarnya jadi lain lagi, “ Mmmm, pantes kok rasanya agak gimana gitu, :]”

Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Yazidie, saat Latihan Kepemimpinan dan Study Aqidah Islam, hanya saja istilah yang digunakan bukan tool akan tetapi “otoritas”

Saya fikir apa yang dikatakan beliau ini tidaklah salah, paling tidak jika tiba-tiba Bu Mega pake Jilbab, barangkali efeknya lebih dahsyat; demikian pula jika yang saya tulis ini saya beri embel-embel “oleh M Anis Mata, Lc” maka antum akan lebih serius lagi membacanya.

Ketika tool, dimiliki oleh orang yang yang salah, ternyata berefek besar pula bagi masyarakat. Saya sulit membayangkan ketika seorang artis tenar –Alhamdulillah tapi bukan Muslim- ketika diwawancarai JawaPost tentang seks bebas dalam sebuah rubrik Pigura, ia mengatakan bahwa jika dilandasi dengan cinta kasih yang tulus, ya tidak apa-apa. Ungkapan yang menyesatkan bukan. Ini tentu lain jika “artis” yang ditanya pak Igo Ilham, misalnya, atau pak Gito Rolis.

Nah, seringkah kita mendengar para pengamat berkata, dan diwawancarai TV. Efeknya sangat dahsyat, dan bahkan menjadi “mass opinion “ yang luar biasa. Ini terjadi ya karena ia mempunyai tool tadi.

Apa yang kita bicarakan diatas, barangkali jika kita kaitkan dengan sebuah ungkapan dari rasul, menjadi cukup tepat juga, karena rasul pernah berkata bahwa muslim yang kuat lebih disukai daripada muslim yang lemah. Makna kata “kuat” disini seringkali tidak saya fahami sebagai muslim yang “gotot”, yang ototnya keluar semua, yang tukang tinju, akan tetapi yang dimaksud kuat itu barangkali adalah yang mempunyai potensi atau tool itu. Jadi meskipun badannya kecil, jika direktur ya.. termasuk kuat lah :]

Jadi kesimpulannya barangkali jika kita mempunyai kesempatan untuk meraih tool dengan lebih baik, ya tentu bisa lewat keintelektualitasan kita, kemampuan teknologi, atau kekayaan barangkali, ya berusahalah untuk meraihnya agar kita mempunyai tool yang kuat untuk memperbesar efek seruan kita. Tapi ingat, jika kita akhirnya terpesona memburu tool, akan tetapi dakwah terlupakan, tentu tool menjadi hal yang tidak berguna lagi.

Wallahu a’lam
Surabaya, 5 September 2001, Abis Subuh

Edy Santoso
[email protected]
http://masjidits.cjb.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)