Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada musim hujan tahun ini rumah kontrakan saya diintimidasi banjir. Seperti kemarin sore, Jum'at 14 Januari, teman kuliah saya mengirim pesan via YM, "Cak disitu nggak hujan ?". Saya sendiri kurang tahu karena berada di dalam gedung. Penasaran lantas saya menengok keluar. Hujan deras sekali disertai angin kencang. Jalan depan kantor telah seperti sungai dengan alirannya yang cukup deras.
Saya lantas SMS ke istri saya, tapi tidak terkirim, sms lagi dan tidak terkirim lagi. Halah lupa kalau waktu tanggal pakai telah habis. Tak lama malah istri yang SMS, "Yang, nanti pulangnya lewat dapur aja, depan rumah kuranng 5 cm msk rumah, sungai blk rmh penuh, samping juga banjir". Wah, suasana hati menjadi tidak enak. Bagaimana nanti mengatasinya, bagaimana kalau benar-benar masuk rumah ?. Saya memang benar-benar khawatir jika air sampai masuk rumah, karena saya tidak mempunyai perabotan, dan semua barang diletakkan 0 cm dari lantai. Dua buah kasur, TV, Komputer dan Almari. Kalau benar-benar masuk rumah terus mau tidur dimana ? Terus barang-barang mau ditaruh dimana ? Bingung !. Maunya saat itu juga saya pulang, namun melihat jalan macet dan banjir, saya mengurungkan niat, karena jika motor prima saya yang kenalpotnya rendah itu kemasukan air, malah akan menambah pekerjaan.
Tuit.. tuit, SMS kedua datang ,"Orang-orang pada bingung, selokan kamar mandi dan tempat cuci airnya dah naik, rumah bu arifin -tetangga sebelah- sudah masuk rumah". Rumah bu Arifin adalah rumah yang tingginya hampir sama dengan rumah saya. Kalau tetangga sebelah kanan malah lebih parah, karena tiap hujan jadi langganan banjir. Rumah itu lantainya lebih rendah 30 cm dari teras kontrakan saya.
Tapi apa daya, sambil menunggu hujan, banjir, dan kemacetan, meski bercampur cemas saya akhirnya baru bisa pulang jam 20.00 WIB.
Jalan 500 meter menuju ke rumah ternyata tergenang banjir. Para pengendara sepeda motor yang nekat akhirnya harus menuntun motornya itu karena mogok. Air tidak hanya tinggi, tetapi deras seperti sungai. Saya menunggu cukup lama sambil berfikir bagaimana agar bisa sampai di rumah. Akhirnya saya nekat, karena sudah jam 21.30. Sambil memasukkan gigi motor ke persneleng dua, dan menarik gas dengan cukup kencang, saya menuju rumah lewat jalan belakang, karena jalan depan sudah tidak bisa dilewati. Alhamdulillah, akhirnya bisa sampai di rumah dengan selamat. Ternyata air memang telah masuk ke dapur, tapi Alhamdulillah, jarak dapur dengan ruang depan ada 5 cm sehingga malam itu kami masih selamat dari banjir.
Akibat Regency ?
Saya memang belum mendengar tentang penelitian penyebab banjir akhir-akbir ini. Namun, dulu sebelum pembangunan sebuah Regency di desa Gebang, banjir tidak pernah menyambangi kawasan Jalan Asem Payung. Regency yang dibangun itu cukup luas, bahkan mungkin hampir seluas kampus ITS. Sebelah timur berbatasan dengan ITS, sebelah selatan berbatasan dengan jalan ARH, sebelah barat dengan Jl Asempayung dan sebelah utara dengan Jl Gebang. Dulu wilayah itu adalah persawahan yang memang tidak produktif. Saya sendiri tidaklah tahu mengapa tidak produktif, apakah banyak tikusnya, atau memang tidak subur. Daerah itu akhirnya lebih banyak berfungsi menjadi tempat resapan air saat hujan, sebelum menguap, karena sungai yang membuang air dari barat ke timur memang memang tidak pernah mampu membuang air.
Sekarang Proyek Regency telah dimulai, dengan membangun tembok pembatas setinggi tiga meter, dan mengurug tanah dengan sangat tinggi. Wal Hasil, kemana lagi air akan pergi kalau tidak ke daerah sekitarnya ? Dan darimana air dari perumahan Manyar dibuang kalau Tidak ke jalan Asempayung dan kampung kami ?
Amdal ?
Sebelum memberikan izin perumahan, regency, atau apalah namanya, seharusnya dilakukan Analisa Dampak lingkungan yang baik. Apakah keberadaannya akan mengganggu "ekosistem" lingkungan lainnya atau tidak. Apakah jika harus merugikan lingkungan yang lain ada sistem yang bisa dibangun untuk meminimalkan kerugian atau tidak. Memang developer memberikan kompensasi dengan dibangunnya jalan di belakang rumah, namun apalah artinya jika ternyata kompensasi lain yang tak masuk perhitungan itu akhirnya datang tiap hujan ?
Siapa Yang Bertanggung Jawab ?
Kalau demikian adanya, siapa yang akhirnya harus bertanggung jawab. Developer, pembuat Amdal yang Guoblok, pemkot yang memberi izin, atau orang yang menjual tanahnya untuk Regency ?
Tapi sudahlah, semuanya sudah terjadi. Yang perlu dipikirkan adalah membuat penyelesaian agar wilayah Asempayung tidak banjir lagi.
Kalau saya kan posisi disana hanyalah sekedar Ngontrak, yang sewaktu-waktu bisa pindah. Lha kalau penduduk asli sana terus mau kemana ?
Pembangunan itu memang hanya untuk orang kaya, dan untuk orang miskin tradisinya memang untuk menjadi korban. Sudah menjadi korban terus tidak tahu tempat mengadu. Beruntung saya, meskipun miskin masih punya blog, paling tidak bisa "misuh-misuh" disini sampai puas, biar beban di otak ini jadi ringan.
Sayang nggak punya kamera :(
Anggaplah itu sahabat lama yang mampir :D
BalasHapusBener mas, anggap aja tu sahabat lama. Klo d kampung ane dulu pas ane balita sering banjir, tapi sekarang koq malah susah mengairi sawah :D
BalasHapuskita senasib cak, dikungkung oleh kekhawatiran akan banjir, semalam baru rapat RW untuk mencanangkan early warning system ama membuat tanggul darurat....
BalasHapusbanjir memang tidak nyaman, cuma mau ngeluh kok ya malu ama org2 yg mungkin jauh lebih kurang beruntung dibanding saya...
apa yg kurang nyaman didunia, (katanya) akan dibalas dengan hal yg (lebih) nyaman di kehidupan berikutnya cak, insyaAllah...:)
Duit bisa menyingkirkan banjir.
BalasHapusKepentingan uang memang lebih sering menang daripada kepentingan bumi kita ini.... :(
BalasHapussabar sabar ya mas... :)
god bless u..
Kapan ya anak cucu kita nanti, saat hujan tidak lagi melihat "tradisi" banjir tapi malah bahagia karena telah diturunkannya nikmat berupa hujan yang bermanfaat .... ?
BalasHapushm.. kalo ga banjir..kekeringan... repot yah om
BalasHapus