Jumat, 23 Desember 2005

Dunia-Dunia di Dunia

Jika pagi hari tiba, saya sering berjalan-jalan bersama anak saya dengan kereta dorong pemberian bulik saya. Keluar dari rumah kontrakan, terhampar rumah-rumah yang serba sempit dengan ventilasi seadanya, dan kalau hujan airpun tak enggan bertamu ke dalam rumah. Beberapa orang nampak menggoreng tahu tempe, menyiapkan sayur yang akan dibawa ke pasar untuk memperoleh sedikit uang agar bisa mengganjal perut hari ini. Untung-untung ada yang bisa disisihkan, buat bayar kontrakan bulan depan. Kata hati saya, sungguhlah memprihatinkan negeri ini. Kata gemah ripah lohjinawi tentrem kertoraharjo seakan hanyalah sebuah cita-cita yang tak tahu kapan datangnya. Padahal kata itu mungkin sudah terdengar berabad lamanya, sejak jaman Majapahit.


Namun, setelah menyeberang jalan akan muncul suasana yang lain. Rumah besar-besar dengan arsitektur yang serba modern. Sang satpam dengan membawa pentung nampak siaga menjaganya. Dari lantai atas, ada teras yang terbungkus kaca, sehingga kalau sedang bersantai, akan terlihat sang mpu rumahnya minum segelas teh hangat sambil melihat pemandangan sekeliling yang sangat asrinya. Hujan atau panas, toh baginya tak terasa, didalamnya suasana sejuklah yang terasa, bak dalam istana yang ada dalam negeri dongeng.


Hanya sebuah jalan kecil yang memisahkannya, tetapi suasananya sungguh berbeda. Meski sama-sama bingung tetapi yang satu bingung mencari uang dan yang lainnya bingung membelanjakannya.


Kenyatannya, banyak orang, yang hidup di dunia yang nyaman, tidak peduli dengan dunia orang lain. Jangankan yang dipisahkan jalan, kadang dunia lain di dalam rumahnya tidak dipedulikan. Karena itulah kita melihat mengapa ada majikan yang begitu tega menganiaya pembantunya, karena dia tidak mau tahu dengan dunia lain itu. Baginya kesusahan orang lain itu tak ada efeknya bagi dirinya sendiri, karena senyatanya dia nyaman berada dalam dunianya.


Negara inipun demikian adanya. Ketika rakyat menjerit karena semua harga pada naik, wakilnya yang ada di DPR menaikkan gajinya sendiri, malah ada yang studi banding selama 90 menit ke mesir terus pelesiran. Ketika kita mendengar banyak orang kesusahan makan karena pengaruh harga minyak, eh perusahaan minyaknya malah menghamburkan uang dengan mengganti logo berbiaya dua miliar. Disaat buruh berpanas berpeluh meminta UMR yang lebih baik karena gaji lama tidak dapat mengimbangi inflasi saja tidak digubris, eh terdengar kabar pejabat BI akan menaikkan gajinya hingga lebih dua kali lipat gaji presiden. Dunia nyamannya telah menutup matanya dari rasa empati.


Sebenarnya adanya dunia-dunia itu adalah sebuah sunatullah yang tidak harus menjadi masalah jika semuanya bersikap benar dan menjaga titik kesetimbangannya. Jika semua orang melakukan empati, peduli, hormat, dan tidak saling mematikan. Adalah indah jika masing-masing merasa perlu saling membantu, saling mengerti dan saling menjaga perasaan. Nilai yang sangat akrab di telinga, tapi jarang yang mau melakukannya.


Termasuk kita ?

5 komentar:

  1. justru dengan kesenggangan itu hidup di indonesia menjadi unik :D

    BalasHapus
  2. ya, termasuk kita.....
    "yahukimo" sesunggunya disekitar kita, kekeringan empati untuk berbagi.....

    BalasHapus
  3. Yah, makanya mumpung masih ingat, ayo kita bareng-bareng perbaiki.

    Paling tidak, dari diri sendiri dulu.

    *ngelongok jendela*

    BalasHapus
  4. Setahun Tsunami juga tidak berarti apa2, kecuali tangisan air mata. Bagi bangsa ini tampilan luar dengan berbagai slogan dan jargon ndakik (ngambil istilah achedy "Bilang Ndakik-Ndakik Ternyata Ngewes") menjadi sesuatu yang lebih berarti, pokoknya sudah di-wacana-kan, masalah pelaksanaanya.....itu terserah, yang pentingkan niatnya-kan baik.

    BalasHapus
  5. Semoga Tuhan selalu menjaga dan memberkati Indonesia kita ini.. :'(

    BalasHapus

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)