Jumat, 12 Agustus 2005

Pintarkan Kami dan Jangan Cekik Kami Dengan Buku !!

Anda tentu tahu, setiap tahun ajaran baru, banyak diantara orang tua yang resah. Selain membeli seragam, dan BP3, juga satu hal yang tak kalah pentingnya yaitu buku. Seiap orang tua mesti membeli banyak buku tiap tahun untuk seorang anaknya. Karena untuk anak SD sampai SMA biasanya buku menjadi acuan penting untuk berbagai tugas disekolah maupun di rumah.

Saat pergi ke Solo, bulik saya "rasan - rasan". Tiap tahun beliau mesti membeli buku pelajaran yang selalu berubah. Pengin rasanya memberikan buku-buku yang telah dipakai anaknya itu kepada tukang becak yang biasa mangkal di dekat rumahnya. Tapi apa daya, buku sudah tidak bisa dipakai. Tiap ganti kurikulum, bahkan tiap tahun, selalu saja ada penggantian buku. Duh ....


Tetangga saya juga mengeluhkan hal ini. Pekerjaan suaminya yang hanya seorang satpam dengan penghasilan 400.000 per bulan, dan tiga orang anak yang masih sekolah, tentu menjadi persoalan rumit. Untuk masalah SPP di sekolah seperti SD Inpress masih murah, 15.000,- perbulan, tapi untuk buku, orang tua dituntut untuk mengeluarkan biaya minimal Rp. 150.000,- s/d Rp. 400.000,- per anak.


Dulu, sewaktu saya SD kelas satu sampai empat, semua siswa dipinjami buku. Praktis, untuk orang tua yang tidak mampu, paling hanya mengeluarkan biaya untuk membeli buku tulis dan seragam. Setelah kelas lima, baru ada kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dimana kita harus membeli buku. Sampai disini, banyak teman-teman saya yang tidak mempunyai buku sama sekali. Apalagi waktu itu di desa, sehingga sekedar fotocopy soalpun tidak bisa. Tapi seingat saya, tidak setiap tahun buku itu berubah. Adik kelas saya masih bisa menikmati buku-buku saya.


Sekarang, buku itu menjadi bukan sekedar alat untuk membuat orang pandai, tetapi alat bisnis. Jika orientasi kita bisnis, maka pertimbangannya bukan relevansi dan mutu lagi, tetapi keuntungan. Dalih-dalih yang dibangun untuk mengganti buku tiap tahun hanyalah kiat mengelit saja, karena pada dasarnya tetaplah keuntungan.


Sudah biasa, penerbit mendekali guru dan sekolah, agar bukunya di gunakan. Presentasi terhadap mutu saja ternyata tidaklah cukup, penerbit kemudian memberikan tawaran yang cukup menggiurkan. Inilah yang lantas menyebabkan sekolah dan guru seringkali tergiur. Dan saya melihat perubahan buku dan penerbit bukan lagi karena persoalan perkembangan teknologi, tetapi lebih pada sisi bisnis.


Sebenarnya alasan perkembangan informasi setahun yang cepat itu bukanlan alasan yang sebenarnya. Pokok-pokok pelajaran IPA sewaktu saya seolah di SD masih sama dengan yang ada sekarang, hanya cara penyajiannya saja yang berbeda. Demikian juga di SMA kelas satu, paling tak jauh-jauh dari persoalan dimensi, Gerak Lurus Beraturan, Gerak Lurus Berubah Beraturan, Gerak Parabola. Teknologinya tidak pernah berubah. Saya mengakui, untuk metode dan beberapa pelajaran lain seperti sosial, mungkin banyak terjadi perubahan, namun saya fikir tidak sampai pada kondisi buku itu tidak bisa digunakan. Sebenarnya sampai disini, seharusnya guru, perpustakaan dan sarana informasi lainlah yang digunakan untuk update informasi, bukan textbooknya yang tiap tahun ganti.


Dengar - dengar, Diknas sekarang mengeluarkan peraturan bahwa buku tidak boleh berubah sampai 5 tahun. Saya fikir jika ini hal positif yang pantas kita dukung. Karena sebenarnya yang banyak berubah bukan harus textbooknya tapi wawasan guru, pembararuan buku-buku perpustakaan, digital library, dan internet jika memungkinkan.


-- achedy

1 komentar:

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)