Senin, 05 Agustus 2002

Tidak Pelu Ideal, Yang Penting Optimal

Barangkali sudah menjadi fithrah setiap orang untuk selalu menginginkan dirinya menjadi yang ideal dalam banyak persoalan. Dalam sisi perkuliahan, akan masuk dalam deretan orang pintar, tempat bertanya banyak hal tentang perkuliahan, yang buku catatannya menjadi rebutan banyak mahasiswa lain, dan lulus tepat waktu, serta cepet dapet kerja. Demikian pula dalam sisi penampilan, ia termasuk sosok yang disegani dan menyenangkan; penampilannya kalem dan tersembunyi nilai kebijaksanaan padanya. Dan nilai-nilai itu akan semakin menuntutnya, jika ia mempunyai gelar, da?i, aktifis dakwah, pengurus LDK, dan semacamnya.

Terus terang, saya dulupun mengangankan hal semacam ini. paling tidak pada awal-awal kuliah, saya membuat sebuah planing kedepan tentang banyak hal untuk membangun diri saya menjadi sosok ideal dalam sisi akademis, kreativitas, dan dakwah, dan saya membayangkan bahwa saya akan menjadi orang yang berhasil dalam banyak hal.

Akan tetapi ternyata seringkali realitas berbicara lain, sebuah rencana di atas kertas dan sebuah angan-angan mulia, bukanlah catatan Allah dalam Lauhul Mahfudz, tapi sebenarnya hanyalah harapan-harapan dalam diri seseorang. Karenanya, betapa banyak angan-angan awal itu ternyata tidak bisa diwujudkan dalam banyak kenyataan.

Dalam hal kuliah, ternyata prestasi akademik saya tidaklah menggembirakan, begitu sulitnya mendapatkan nilai A dan B hingga tak jarang harus menghela napas panjang ketika melihat pengumuman nilai, hingga sudah menjadi kebiasaan untuk selalu sakit perut menjelang pengumuman nilai. Saya lalu berfikir, mungkin saya kurang keras, lalu saya mencobanya kembali, dan ada peningkatan memang, tapi tak bisa sebagus yang saya harapkan. Akhirnya saya memang harus menerima kenyataan, saya tak bisa menjadi the best dalam urusan akademis. Akan tetapi percayalah, bahwa saya telah mencobanya.

Bila saja kita tak menyadari, bahwa setiap orang mempunyai sisi-sisi kelemahan, bahwa Allah menciptakan manusia ini dengan kemampuan yang berbeda-beda, maka barangkali seseorang akan menjadi frustasi, bahwa ia tidak dapat menjadi yang terbaik, padahal ia adalah seorang muslim, padahal ia adalah seorang aktifis dakwah kampus, yang dituntut menjadi sosok yang sempurna. Ini adalah persoalan yang banyak terjadi, dimana ketika seorang aktifis dakwah kampus tidak bisa sesempurna yang ia harapkan, terkadang rasa frustasi melingkupi situasi hatinya, dan tak jarang sebuah bisikan halus menyapanya,? Menjadi aktifis dakwah, tentu kau harus menjadi teladan, jika tidak, apalah artinya, lebih baik menjadi orang biasa saja, toh dirimu tak dapat menjadi sosok teladan yang baik?. Dan tak jarang, menghadapi hal yang demikian itu diri kita menjadi terhuyung dan jatuh.

Pahamilah, bahwa Allah tak akan membebani seseorang diluar batas kemampuannya, ?Laa yukallifullahi nafsan illa wus?aha?, sebuah mutiara terindah yang akhirnya saya fahami. Bagi kita yang paling penting adalah bagaimana berproses secara baik, dan berusaha secara maksimal. Bagi saya, memahami persoalan ini harus kita kembalikan kepada bingkainya, bahwa seharusnya kita berorientasi kepada proses, dan bukannya hasil. Tak apalah tidak lulus cepat, tak apalah nilai dibawah standart, asalkan untuk mendapatkannya sudah sesuai dengan standart dan kerja yang maksimal, karena memang manusia mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. dan demikian pula untuk hal-hl yang lain tentu saja.

Bagi kita yang memang diberi kelebihan Allah, akan otak yang encer, akan nasib yang baik, maka bersyukurlah, dan jangan kemudian kita membandingkan diri kita dengan orang lain lalu meremehkannya, karena sesungguhnya kita tidaklah tahu tentang kemampuan yang diberikan Allah atasnya. Karenanya sebenarnya saya lebih suka orang yang berbicara, bekerjalah dengan keras, bukannya berhasillah; dan jadilah sosok yang optimal, bukannya jadilah sosok yang ideal. Dan karena masalah hasil adalah urusan Allah, maka sebenarnyalah ia berada dalam wilayah do?a, maka jangan seganlah untuk berdo?a kepadanya agar kita, saudara kita, dijadikan sosok yang berhasil, dijadikan sosok yang ideal dari optimasi potensi yang telah diberika Allah atasnya.

wallahu a?lam

Edy Santoso
[email protected]

2 komentar:

  1. Antum benar Cak. Seringkali kekecewaan dan perasaan putus asa itu disebabkan ekspektasi yang berlebihan. Tulisan antum menginspirasi saya bahwa: "Jika tidak bisa melakukan semua kebaikan, maka jangan tinggalkan semuanya". Terima kasih.

    BalasHapus

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)