Selasa, 03 Februari 2009

Ancaman Golput Karena Sistem

Ancaman Golput ada di depan mata. Menilik pada beberapa kali pemilihan gubernur, bisa dilihat tingkat partisipasi masyarakat untuk mencoblos terbilang rendah. Angka golput berkisar antara 30% sampai 40%. Bahkan kalau golput itu dihitung menjadi sebuah partai maka dia sudah pasti akan memenangkan pertarungan ini.

Beberapa wacana kemudian muncul untuk mengantisipasi golput, setelah pak Dayat mengusulkan haramnya golput maka kemudian  MUI mengeluarkan fatwa haramnya golput. Semua kontestan pemilu pun menghimbau dengan berbagai cara agar masyarakat tidak golput. 

Menurut Cak Edy, persoalan golput sebenarnya bukan semata karena orang tidak mau memilih, namun banyak diantaranya  karena orang yang berhak memilih di rudopekso oleh sistem sehingga membuat orang tidak bisa memilih atau sulit memilih. Lha piye to, wong KPU sendiri menyerukan jangan golput, tapi sistem memaksanya untuk golput. 

Coba sampeyan bayangkan berapa banyak orang di Surabaya ini yang merupakan buruh migran kayak saya. Sudah bertahun-tahun tinggal di Surabaya, tapi KTP masih desa. Di Surabaya ini banyak sekali tukang panci, tukang tambal ban, bakul soto, tukang rombeng, sopir angkot yang asalnya dari berbagai tempat di Jawa Timur ini. Lha kalau pulang kampung tentu mereka akan mengeluarkan biaya. Bagi mereka, pulang kampung hanya untuk mencoblos tidak sebanding dengan biaya yang mereka keluarkan, karena disaat krisi seperti ini mencari uang itu tak terlalu mudah. Sementara disini mereka tak akan mungkin masuk DPT. Paling mereka hanya punya KIPEM (sebuah surat yang telah saya miliki sejak beberapa tahun yang lalu yang sampai sekarang nggak tahu apa fungsinya). Mau pindah KTP, rumah aja masih berpindah-pindah, terus ngurusnya nggak cukup sehari dua hari, seminggu dua minggu. 

Penetapan DPT saat ini memang berbeda dengan tahun 2004. Seingat saya penetapan pemilih tahun 2004 berbasis survey, sehingga orang yang bukan penduduk tetap asal jelas KTP nya orang Indonesia pasti akan mendapat panggilan memilih, kalau sekarang berdasarkan data penduduk. Idealnya memang seperti itu. Tapi efek menggelembungkan angka Golput sudah pasti. Disurabaya ini penduduk kontraktor(pengontrak rumah) sama yang tinggal di kos bisa menyamai penduduk asli.

Cak Edy, sebagai orang yang sadar politik, tentu akan berusaha untuk bisa mencontreng kartu suara bagaimanapun caranya. Apakah harus pulang kampung, ataukah ada cara untuk pindah mencoblos. Mengenai pindah mencoblos ini juga masing simpang siur informasinya. Masuk situs KPU surabaya, KPU Jatim, KPU Pusat, informasi seperti ini sulit saya dapatkan. Sementara tanya teman paling mendapat informasi katanya-katanya yang nggak jelas sanadnya. Kalau seandainya bisa pindah memilih, saya akan memilih wakil yang mana ? Apakah saya akan disodori wakil dari daerah saya tinggal atau wakil dari tempat KTP saya, karena sudah tidak ada irisan wakil sejak dari DPRD sampai DPR RI, karena perbedaan daerah pemilihan.   

Apakah sampeyan  punya informasinya, atau sampeyan anggota KPU ? sekalian kalau ada link referensinya. Nuhun.

3 komentar:

  1. dari kuliah sampe sekarang awak dhewe gak tahu ikut pemilu.
    apalagi harus pulang kampung mbelani ben nyoblos. kagak lah.

    bagi yang mau nyoblos monggo,
    bagi yang nggak ya nggak apa-apalah,

    wong semua orang toh punya hak,

    kalau yang nggak nyoblos/nyontreng/apapun istilahnya,
    dianggap dosa, itu mah urusannya MUI.

    kalau mau buktinya dosa apa tidak, ya entar aja di akhirat.

    BalasHapus
  2. Saya udah ber KTP Surabaya tp expired, dpt undangan milih apa nggak ya ?
    Penginnya seeh ikutan milih, tp klo nggak terdaftar atau nggak diundang ya udah mau gimana lagi .....
    Soalnya sekarang blom sempet ngurus KK, istri udah ngurus pindah beberapa bulan yg lalu tp blom sempet masukan ke kelurahan di sby sini, soalnya pulang kerja malem2 terus ...

    Cak pulang kampung aja, sekalian liburan !

    BalasHapus
  3. Assalammu'alaikum
    sebenarnya mungkin ada yang mau memilih, tapi tidak terdata.
    saya mengalami itu, pada saat pemilu pertama kali di tahun 2004, nama anak-anak yang ada di asrama, itu semua terdata, sampai ke pemilihan walikota, nama kami masih terdata, masih ada kartu pilihnya.

    tapi, pada saat pemilihan gubernur, satu asrama tidak ada yang terdata sama sekali, petugas yang katanya mau mendata pun ndak datang-datang, yah sudah, mau bagaimana lagi kalau sudah begitu

    BalasHapus

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)