Rabu, 24 Oktober 2007

Mudik Motor

Oleh-Oleh dari Hari Raya 1428 H bagian 3



Di tahun-tahun belakangan ini, mudik motor semakin menggila. Saya saksikan di TV, bagaimana ribuan motor tumpah ruah di jalan. Seperti kerbau Afrika yang bermigrasi mencari daerah yang berumput rimbun.

Di sekian banyak orang mudik, pasti ada saja yang menjadi korban. Seperti ketika kerbau Afrika berbondong menyeberangi sungai. Lalu para buaya menangkap beberapa diantaranya untuk dimakan. Untuk motor, kebanyakan korban terjadi karena kecelakaan. Toh begitu, pemudik motor bukannya semakin berkurang, namun selalu bertambah setiap tahun.

Apa daya tarik mudik motor ? Bukankah naik bus lebih enak, tinggal memejamkan mata sampailah ke tujuan. Saya yang dua kali lebaran ini mudik motor mungkin bisa sedikit menjelaskan.

Pertama, biayanya lebih murah. Naik bus apalagi saat hari raya, ongkos per kilometernya lebih mahal dibanding biaya bensin motor. Apalagi kalau penumpangnya lebih dari satu orang. Jarak Surabaya Nganjuk hanya butuh biaya bensin tak lebih dari Rp.13.000,-. Kalau berdua berarti per orang hanya Rp.7500,- saja. Meski begitu, saya kira ini bukan alasan utamanya.

Kedua, pemudik motor biasanya orang yang berpenghasilan menengah ke bawah. Tinggal di kost atau kontrakan sederhana. Bukan di regency dengan penjaga berkumis ditakuti pencuri. Menaruh motor di rumah, dan meninggalkannya seminggu, terkadang menimbulkan was-was. Karena biasanya, motor adalah satu-satunya barang berharga yang dimilikinya.

Ketiga, bisa kita gunakan untuk bersilaturahmi di kampung. Bagi saya, inilah yang terpenting. Naik bus umum mungkin lebih enak, dan lebih aman untuk sampai ke tujuan. Namun jika sudah sampai di kampung kendaraan apa yang bisa kita pakai pergi kesana kemari untuk bersilaturahmi ? Radius keluarga yang bisa mencapai jarak 20 km, akan mudah kita tempuh dengan menggunakan motor. Kesempatan libur hari raya bagi saya adalah kesempatan yang amat langka karena terjadi hanya sekali setahun. Dalam rentang setahun itu belum tentu kita ketemu. Bahkan, dalam lebaran kemarin, saya bertemu lagi dengan teman yang telah berpisah 15 tahun. Lebaran ini adalah libur tahunan yang akan menautkan silaturahmi dan membangun sendi-sendi kekeluargaan. Sangat penting. Saya sangat tidak setuju ketika pak Fatwa menyayangkan libur nasional ini sembari mencontohkan di Iran yang liburnya hanya sehari. Khusus pak Fatwa, bolehlah libur hanya sehari.

Saya mempunyai dua tujuan mudik. Pertama di Nganjuk, tempat mertua saya. Kemudian ke Trenggalek, tempat orang tua saya. Tempat-tempat ini sangat strategis. Routenya bisa kita buat segaris. Sehingga biasanya saya transit ke Nganjuk dulu, baru ke Trenggalek. Mudik yang tak terlalu jauh, sehingga tidak ada pengalaman mudik yang berarti sebenarnya.

Jarak Surabaya - Nganjuk saya tempuh dalam waktu 3 jam. Di jalur ini saya mudik sendiri. Kebetulan kemarin adik istri meminjam mobil paman, sehingga anak istri bisa bergabung dan berangkat lebih dahulu. Untuk anak istri, memang menurut saya lebih aman naik mobil atau kendaraan umum. Namun terkadang pada kondisi tertentu dimana semua bus sudah penuh, atau harus berdiri di bus, atau karena titik pemberhentian lebih banyak terpaksa naik motor. Dari Surabaya saya berangkat pukul 14 dan sampai di nganjuk hampir pukul 17. Saya memilih sore, dengan pertimbangan panas matahari yang sudah berkurang, dan sampai tujuan sudah hampir maghrib. Saya tidak membatalkan puasa karena jarak tempuh yang dekat dan tidak memberatkan saya.

Jarak Nganjuk - Trenggalek saya tempuh dalam waktu 2 jam. Di jalur ini saya boncengan motor bersama anak dan istri. Naik kendaraan umum Nganjuk Trenggalek agak susah. Ada banyak titik yang harus dilewati. Bus Nganjuk - Kediri, Bus Kediri - Tulungagung, Bus Tulungagung - Trenggalek. Dan untuk bisa sampai di rumah harus Naik Becak / Ojek untuk jarak 5 km. Yang paling tidak enak di terminal kediri. Bus dari Surabaya tidak melewati terminal. Jurusan Tulungagung hanya di lewati bus kecil yang jumlahnya sedikit. Pernah saya terlantar berjam-jam disana. Terpaksa naik ojek untuk mengantarkan ke jalur bus Surabaya - Tulungagung. Dan berdiri adalah resikonya.

Tidak seperti di mudik Jakarta yang sangat ramai, mudik keluar Surabaya menurut saya tidak bisa dikategorikan padat. Biasa saja. H-1 juga tidak terlalu ramai. Hanya saja, untuk arus balik satu hari menjelang kerja memang cukup padat, seperti pengalaman saya tahun lalu. Tidak seperti Jakarta, dimana orang yang ada di dalamnya berasal hampir dari semua tempat di Indonesia, terutama Jawa, di Surabaya nampaknya lebih banyak dihuni oleh orang-orang Jawa Timur itu sendiri. Masalah mudik di Jawa Timur menjadi tidak terlalu menghebohkan.

Tidak seperti Mudik dari Jakarta, mudik di Jawa Timur saya kira masih dalam batas wajar dan aman selagi melakukan cek mesin, tidak kebut-kebutan, mudik siang hari, menggunakan helm standart, safety riding dan jangan mendahului kendaraan besar selama kita tidak yakin akan keamanannya. Ingat, masih ada yang berkepentingan dengan hidup kita.

2 komentar:

  1. saya dengar dari orangtua bahwa fenomena wajib mudik ini mulai marak pasca 1970-an.. sebelum tahun itu, orang mudik hanya kalo ada duit..alias ga dipaksakan..

    BalasHapus
  2. he...kang edy mudik jg nich

    BalasHapus

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)