Dunia pendidikan Indonesia sedang resah. Dalam Ujian Akhir Nasional yang baru saja dilakukan, sangat banyak pelajar setingkat SMA yang tidak lulus. Mereka gagal dalam ujian yang hanya mengujian tiga mata pelajaran, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Tiga matakuliah saja dari sekian banyak matapelajaran yang harus di kuasai di bangku SMA.
Mencermati pendidikan kita tentu akan banyak pertanyaan dalam hati. Sebenarnya apa fungsi sekolah itu, sebagai tempat belajar atau tempat agar kita lulus ujian dan mendapat ijazah ? Jika pilihannya adalah sebagai tempat belajar, maka yang dilakukan adalah membentuk wawasan, cara berfikir, dan cara memecahkan masalah. Sebagai tempat belajar, maka titik tekannya adalah ada pengenalan pola dan pemahaman, dan bukan untuk menghafal.
Jika kita memandang bahwa sekolah adalah tempat belajar, maka cara pandang kita untuk menentukan kelulusan seorang siswa seharusnya berbeda dengan apa yang ada sekarang. Kita harus menilai proses secara keseluruhan, dan bukan hanya mengujikan tiga mata pelajaran di akhir waktu.
Menilai lulus tidaknya seorang siswa hanya dengan UAN, tentu tidak akan mendidik siswa untuk belajar, tapi mendidik untuk lulus ujian. Akibatnya, banyak berdiri lembaga bimbingan yang hanya mengajarkan bagaimana menjawab soal. Ada banyak trik, tips, dan pengenalan pola-pola soal ujian, serta prediksi soal untuk mengantarkan siswa lulus ujian. Akhirnya, bimbingan menjadi sesuatu yang sangat diminati siswa.
Dalam dunia pembelajaran, saya menyukai perkuliahan. Dimana ujian bukanlah diambilkan dari akumulasi materi dari sekian tahun belajar, namun per matakuliah. Dengan close book pun, ini masih bisa dilakukan, karena cakupan materi yang tidak terlalu luas. Ujian juga tidak terlalu memperdulikan open atau close book, karena yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan studi kasus yang diberikan. Dan diakhir, ada tugas akhir yang berbicara tentang bagaimana menyelesaikan persoalan dengan apa yang telah diperolehnya di bangku kuliah ?
Ujian model menjawab soal seperti yang ada sekarang, bagi saya lebih pada ceremonial saja, karena seorang siswa bisanya akan bisa menjawab sekian soal karena dia belajar sebelum ujian. Namun sekian lama setelah ujian tentu dia akan butuh waktu untuk belajar kembali. Inti belajar sebenarnya hanyalah untuk membuka wawasan, pengetahuan dan memahami pola, bukan dia harus bisa saat itu juga. Toh dalam kehidupan real, open book itu sah-sah saja. Siapapun tidak akan bisa mengingat semua pelajaran yang telah diperoleh sebelumnya, termasuk seorang Doktor, dan bahkan pak Dibyo pun belum tentu mendapat nilai seratus jika diminta mengerjakan soal UAN itu.