Malam hari sekitar pukul 24.00 atau terkadang pukul 01.00 dinihari, seringkali ada yang mengetuk-ngetuk pintu rumah saya, setelah pintu tak buka, ternyata beberapa orang pemuda datang, lantas membeli sesuatu, karena kebetulan memang ibu saya berdagang kecil-kecilan. Biasanya mereka membeli mie satu pak, dan royco serta kecap tentu saja. Lalu bersama rekan-rekannya begadang sampai pagi sambil pesta Mie. Alhamdulillah saja tidak pesta narkoba.
Siapakah mereka, adalah pemuda desa saya sendiri, adalah pemuda yang saat saya masih SMA adalah adik-adik TPA yang belajar mengeja huruf hijaiyah. Sebagian bahkan setelah maghrib dan tak ada jadwal mengaji selalu saja datang ke kamar saya meminta untuk diajari membaca Alqur’an; dan sayapun waktu itu mengajarinya dengan senang hati.
Waktu terus berlalu, dan roda kehidupan berjalan terus. Banyak peristiwa peristiwa yang terjadi, banyak cita-cita yang akhirnya tak sampai, dan banyak harapan-harapan yang tak tercapai, dan akhirnya kesalihan di masa kecil menjadi tak berbekas lagi.
Cobalah kita fikirkan, bagaimana jika menjadi mereka. Sekolah paling sampai SMA, setelah itu, tak ada sesuatupun yang harus dikerjakan, cari kerja sulit. Penganguran akhirnya menjadi satu-satunya pilihan yang tak mungkin dihindari. Mau bertani, yah berapalah hasil bertani itu, menanam padi sekian lama, sampai pinggang terasa sakit semua, toh hasilnya juga tak seberapa, karena memang kebanyakan mengerjakan lahan orang. Menjadi TKI, dengan biaya mahal-mahal, akhirnya juga diusir oleh pemerintahan Malaysia. Sulit, nggak ada pilihan. Mereka bukan pula sosok yang mempunyai harapan besar seperti saya, kuliah, dan kesempatan kerja paling tidak masih ada. Masa depan sepertinya bukan lagi milik mereka, tapi milik kita-kita yang kuliah ini, hingga kemudian rasa frustasi ini seringkali diungkapkan dengan begadang, dan keluyuran tak karuan.
Sedih pula saya rasanya. Mungkin apa yang telah di lakukan pak As’ad Humam dengan Iqra’ nya, yang mendidik anak-anak muslim dekat dengan Al qur’an enjadi tak tertindak lanjuti lagi. Seringakali anak-anak lucu itu akhirnya menjadi lepas kendali di kemudian hari.
Problematika seperti ini saya yakin ada di banyak tempat, bukan hanya di kampung saya saja. Dan tentu perlu pemecahan, sekali lagi perlu pemecahan. Mereka adalah generasi-generasi muslim yang hilang, yang mustinya kita temukan kembali. Kita seringkali begitu gembira jika ada orang ang masuk Islam, tapi kita seringkali tak sedih ketika melihat bayak generasi muslim yang hilang, hanya karena tak punya masa depan.
Lalu tanggung jawab siapa ini.
Pemerintah, pasti iya. Percuma memberi penyuluhan narkoba, jika pemerintah tak mengusahakan masa depan mereka. Karena mereka adalah orang-orang frustasi yang butuh kepastian hidup, meski dalam tingkat wajar saja.
Kedua , tentu kita, orang yang disebut-sebut masih mempunyai masa depan. Karenanya mulailah berfikir tentang mereka, karena sesungguhnya mereka adalah musim pula, aset ummat ini. Mereka adalah bukan orang lain bagi kita. Kita tidak boleh berdiam diri, dengan berselancar dalam kenikmatan-kenikmatan spiritual kita. Tentu tak arif jika akhirnya kita hanya menyalahkan mereka, karena sebenarnya kita perlu berfikir, dan berikhtiar, atau paling tidak bercita-cita untuk membawa mereka kembali ke dalam pangkuan Islam. Semoga saja.
Wallahu a’lam
Trenggalek 23-5-2002
Mas Ed [[email protected]]
Minggu, 26 Mei 2002
Generasi yang Hilang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)