Dunia ini bukanlah sebuah panggung sandiwara, akan tetapi dunia ini adalah tempat untuk berkompetisi antara para makhluk Allah yang bernama manusia, untuk mengumpulkan “voucher” amal yang nantinya dapat mengantarkannya ke sorga Allah. Karenanya Allah menyediakan ladang amal disekeliling kita; yang akhirnya terserah kita, mau memanfaatkannya atau tidak.
Saat ini banyak diantara kita yang maunya milih-milih, enak hidup di Surabaya, banyak ikhwahnya, sehingga ladang amal lebih terbuka. Ya Akhi, tidaklah demikian, dimanapun kita berada ladang amal itu tetaplah terbuka lebar. Tak bisa di desa lebih sempit dari di kota. Atau di masyarakat lebih sempit dari di kampus.
Dahulu, sewaktu saya masih menjadi pengurus Masjid ITS, pernah pula saya mengundang orang penting. Tapi sayang, ketika ia menanyakan kepada saya, berapa jumlah pesertanya, saya jawab saja 25 dari pesantren. Iapun mengatakan, “ Waduh kalau 25 saya nggak bisa, kalau seratus saya akan datang”. Padahal tentu kita tak tahu apakah nilai seratus yang datang itu lebih baik daripada yang dua puluh lima itu.
Dalam persoalan amal, sebenarnya Allahlah yang berhak untuk menentukan nilainya, kita itu hanyalah melaksanakan dan “manut” saja pada keputusan Allah, karena kita meyakini atas keadilanNya. Karenanya setiap pintu amal baik yang barangkali kelihatannya kecil dimata kita, janganlah kemudian tak kita hiraukan, karena bisa jadi kecil didalam pandangan kita besar nilainya dalam pandangan Allah.
Pada suatu kesempatan Nabi SAW kedatangan para pejabat Qurays. Nabi sangat mengharapkan mereka dapat masuk ke dalam agama Allah, karena jikalau mereka masuk Islam, tentu merupakan faktor potensial yang luar biasa bagi perkembangan Islam, sebuah tujuan yang tentu saja sangat mulia. Pada saat itu datanglah Ibnul Ummi Maktum, salah seorang sahabat yang buta, untuk meminta Nabi membacakan ayat-ayat yang telah diturunkan Allah. Tetapi nabi bermuka masam sembari memalingkan muka dari Ibnul Ummi Maktum itu, lalu Allah menurunkan teguranNya demngan menurunkan surat ‘ABASA [ia bermuka masam]. Begitulah Allah menganjurkan kepada kita agar tidak meremehkan persoalan yang kita anggap kecil.
Suatu saat istri Abu Dzar mengadu ke Nabi, karena merasa diterlantarkan. Suaminya lebih suka untuk melakukan ibadah mahdzoh daripada memperhatikan istrinya. Suaminya lebih suka bermunajat kepada Allah dan melupakan istrinya yang tentu saja meginginkan embun kasih sayang dari suami yang dicintainya. Barangkali Abu Dzar lupa bahwa ada sesuatu yang seharusnya diperhatikan , karena beranggapan bahwa munajatnya lebih berharga dari apapun jua. Lalu nabi menegor Abu Dzar, agar memberinya cukup kasih sayang kepada istrinya.
Begitulah banyak hal di sekitar kita yang seringkali kita remehkan, yang seringkali kita anggap kecil, namun sebenarnya itu merupakan ladang yang mustinya tidak kita tinggalkan, karena jika kita meniatkan untuk ibadah kepada Allah maka pahala jua yang akan kita peroleh. Ingatkah kita bahwa menyingkirkan penghalang di jalan saja merupakan bagian dari cabang iman.
Karenanya sekarang harus kita sadari bahwa kita jangan terlalu meremehkan perbuatan kecil-kecil yang kita lakukan. Siapa tahu seseorang menerima Hidayah, hanya karena senyuman kita, padahal sebelumnya berkali-kali mendengarkan ceramahpun tidak menyentuh kalbunya.
Kita harus mulai mencoba, untuk sekedar tersenyum pada orang di sekitar kita, bersikap santun pada orang yang dibawah kita, memberikan kasih sayang yang cukup kepada keluarga, membantu orang tua, adik, istri dan anak-anak. Karena sebenarnya sebuah nilai pahala bisa datang dari mana saja.
Wallahu a’lam.
Edy santoso
[email protected]
Sabtu, 16 Februari 2002
Jalan Kebajikan Datang Dari Mana Saja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)