Senin, 23 Januari 2006

Bukan di Output, Tapi di Input.

Jika kita berbicara tentang sistem, maka disana akan ada paling tidak tiga elemen pembentuknya; input, proses, dan output. Namun, kita bisa melihat kebijakan pemerintah yang diberikan kepada kita akhir-akhir ini adalah kebijakan pada sisi outputnya saja, bukan di inputnya. Sehingga akhirnya yang dirugikan tetap saja rakyat kecil dan pemilik usaha.

Kebijakan menekan harga beras sebenarnya dimaksudkan agar bahan pangan murah, sehingga upah buruh murah dan iklim investasi bisa naik. Namun kebijakan seperti ini sangat merugikan petani. Sekarang petani hanya bisa menjual gabah dan beras dengan harga yang dipatok pemerintah. Begitu harga pasar tinggi, akan dilakukan operasi pasar, kalau perlu dengan impor beras, padahal beban input seperti sewa lahan, pupuk, upah buruh, sewa traktor, obat anti hama tidak bisa diajak kompromi, karena mengikuti pengaruh inflasi akibat kenaikan harga BBM. Apa memang seperti ini garis hidup petani ?


Seharusnya, jika ingin harga gabah murah, treatment dilakukan di inputnya. Buat kebijakan pada harga dan distribusi pupuk, harga obat anti hama, dan pengairan yang lebih baik. Perbanyak penelitian pertanian baik untuk teknologi pengolahan maupun jenis padinya. Dan sesuaikan harga beras dengan margin yang cukup agar petani lebih hidup sejahtera. Toh kalau daya beli petani naik, akhirnya iklim usaha juga yang akan meningkat.


Demikian juga pada kebijakan kenaikan UMR. Yang menjadi masalah sekarang, karena treatment dilakukan pada output, akhirnya muncul ketegangan antara buruh dan perusahaan. Inflasi menyebabkan gaji buruh sudah tidak ada harganya lagi sehingga menuntut kenaikan. Di sisi pengusaha, daya beli masyarakat yang lemah, dan adanya efisiensi di berbagai tempat menyebabkan keuntungan yang diperolehnya tidak terlalu besar, sehingga enggan menaikkan gaji buruh.


Namun saya yakin, keputusan yang diambil nanti hanyalah mempertimbangkan faktor output saja, padahal ketidakmampuan perusahaan untuk menggaji karyawan mungkin karena pengaruh input seperti harga BBM dan Tarif Listrik yang naik pada kondisi ekonomi yang lesu. Tetapi kelihatannya yang paling menentukan adalah banyaknya pungli dan perizinan.


Kalau kebijakan yang diambil selalu pada sisi output seperti ini, siapa saja bisa jadi pejabat. Padahal yang harus diurus sebenarnya adalah sisi-sisi input dari sebuah proses agar bisa menghasilkan output seperti yang dikehendaki. Tidak seperti sekarang, semua pejabat hanya bisa menaikkan gaji sendiri, tapi tidak pernah bisa membuat kebijakan pada sisi input.

4 komentar:

  1. Saat ini harga gabah konon melambung tinggi, jauh lebih tinggi dari pada harga beras dunia sehingga ada berita yang mengatakan bahwa petani memanen padinya walau belum tua. Namun para petani saat ini belum panen ---mengingat sekarang memang belum saat panen. Sebentar lagi beras impor datang, dan petani merayakan panennya saat harga beras yang jatuh. Padahal, beberapa waktu lalu harga pupuk mahal karena "langka", harga obat pembasmi hama mahal, biaya tanam juga menyesuaikan dengan kenaikan harga BBM.

    Nasiiiibbb....

    BalasHapus
  2. Setuju, kebijakan yang sekarang diambil pemerintah seperti ngak pernah dipikir, digodok dan ditelaah.

    BalasHapus
  3. Sampai sekarang, kayaknya belum ada satupun kebijakan yang berpihak pada petani. Gak tau kenapa? padahal saya sendiri sudah tau bagaimana susahnya hidup petani.

    Entahlah...

    BalasHapus
  4. Padahal banyak petani lagi gagal panen gara2 banjir

    BalasHapus

Artikel mungkin sudah tidak up to date, karena perkembangan jaman. Lihat tanggal posting sebelum berkomentar. Komentar pada artikel yg usianya diatas satu tahun tidak kami tanggapi lagi. Terimakasih :)